Upacara ini digelar oleh warga Tionghoa yang beragama Taoisme, Konfucianisme, dan Budha Tri Dharma. Namun ada juga warga Tionghoa penganut agama lain yang masih melaksanakan ritual ini untuk menjaga tradisi. “Ini untuk mengundang roh-roh berkumpul dan berpesta supaya mereka mau pulang ke tempat asalnya tenang dan damai, dan hidup layak di akhirat,” ujar Halim Irejo, salah seorang yang rutin menggelar ritual ini.
Chiu Cie selalu digelar setiap tanggal 15 bulan 7 penanggalan Imlek dan menjadi hari terakhir dari rangkaian sembahyang leluhur musim gugur. Hari tersebut juga sering disebut Thiau Tou, atau hari akhirat terbuka. “Makanya kita mengadakan ritual ini supaya roh-roh yang gentayangan dapat kembali ke akhirat. Karena hari ini hari akhirat terbuka,” kata peternak ikan arwana ini.
Halim sendiri selalu menggelar ritual tersebut secara besar-besaran di rumahnya, Jalan Adisucipto, Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya. “Setiap tahun saya mengundang teman-teman dekat saya untuk datang berkumpul di rumah,” sebut mantan ketua Yayasan Bhakti Suci ini.
Sesajian dan pembakaran kim chua dipasang di empat penjuru mata angin area rumahnya, sehingga tidak ada roh yang dapat lolos. Sementara bau-bau harum tercium dari puluhan hio yang dibakar di sekitarnya. Api terlihat berkobar di empat penjuru mata angin di area tempat tinggalnya yang cukup luas itu. Tahun ini Halim membakar 500 bundel kimchua. Jumlah tersebut terbilang cukup besar. Pasalnya di pasaran satu bundel uang-uangan yang dimantrai itu dihargai sekitar Rp90 ribu.
Selain diadakan secara sendiri-sendiri oleh banyak keluarga, ritual ini juga digelar secara massal. Setiap tahun, Yayasan Bhakti Suci juga menggelar Chiu Cie yang menjadi tontonan warga sekitar, yaiyu pembakaran kapal wangkang atau jong son (kapal samudera). Acara yang digelar Jumat (31/8) di Komplek Pemakaman YBS, Jalan Adisucipto, Kubu Raya, ketika ratusan peziarah berdatangan mendoakan leluhur pada hari terakhir sembahyang leluhur.
Acara memasuki puncaknya pada sore hari, sekitar jam tiga. Ribuan orang tumpah ruah di area kegiatan. Di situ ada sembahyang rebut, atau yi lan sen hui (pinyin), chioung shi ku dalam bahasa Hakka, dan chio sik kow untuk ucapan suku Tiociu. Warga sekitar nantinya akan berebutan mengambil berbagai sesajian macam; buah-buahan, ubi-ubian, ayam, dan lain-lain.
Selanjutnya adalah upacara pembakaran kapal wangkang atau jong son. Wangkang sudah diisi bekal-bekal untuk perjalanan para arwah. Isinya adalah; uang-uangan dari kertas, makanan, buah-buahan, beras, minyak goreng, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Ada pula orang-orangan dari kertas yang berkarakter sebagai nahkoda dan anak buah kapal. Kuning mendominasi warnanya, dengan kombinasi merah dan hijau.
Budayawan Kalbar XF Asali menceritakan bahwa awalnya ritual tersebut digelar untuk mengantarkan para arwah kembali ke tempat asalnya. Pasalnya, banyak arwah perantauan yang tidak diurus oleh keluarganya, sehingga kapal ini diharapkan dapat menjadi kendaraan mereka kepada familinya. “Pertama kali diadakan di Pekong Pemangkat, sebelum Perang Dunia II,” katanya. Prosesi sembahyang leluhur musim gugur sendiri digelar selama 15 hari. Perhitungannya, ritual ini dihelat per-tanggal 1 bulan 7 penanggalan Imlek.
Kim Chua Laris
Ritual di bulan 7 Imlek ini mewajibkan para penganutnya untuk menziarahi makam-makam leluhur dan keluarganya dan berdoa di sana. Tidak heran orang-orang rela datang dari luar Pontianak untuk datang menziarahi makam leluhurnya. Tidak heran pada bulan ini, toko-toko yang menjual perlengkapan kebutuhan sembahyang leluhur mulai diserbu pembeli.
Dewi, pengelola toko Sari Rasa, Jalan Gajah Mada menuturkan pada tahun ini pembelinya meningkat tajam dibanding tahun-tahun sebelumnya. “Mungkin bertepatan dengan libur Lebaran yang panjang, jadi orang lebih leluasa untuk datang ke Pontianak. Kalau tahun lalu kan tidak ada libur,” terka dia.
Para pembeli ini membeli barang-barang dari kertas replika dari kebutuhan masyarakat sehari-hari, macam; baju, sepatu, topi, uang-uangan, kapal, pesawat, kotak uang, sepeda, rumah-rumahan, dan lainnya. Selain itu mereka, makanan, buah-buahan dan peralatan sembahyang seperti hio dan lilin.
Dijelaskan oleh dia, harga-harga yang dijual tokonya bervariasi, tergantung tingkat kerumitan membuat dan ukuran barangnya. “Mulai dari ribuan sampai ratusan ribu juga ada,” ujarnya. Namun, pengamatan Pontianak Post, harga replika ini juga cukup tinggi. Baju kemeja dari kertas misalnya dipatok seharga Rp 15 ribu. Sementara replika radio dari kertas mencapai Rp50 ribu. Ada pula sepeda-sepedaan dan mobil-mobilan.
Namun uang kertas tiruan atau kim chua-lah yang paling banyak dicari. “Ini dijual seharga Rp90 ribu per bundelnya. Kita datangkan dari Jakarta,” ujar Dewi. Nantinya kertas kim chua ini di kuburan yang akan dibakar dan dipersembahkan kepada leluhurnya sebagai nilai pemberian rezeki untuk leluhurnya. (ars)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Moratorium Haji Bikin Masalah
Redaktur : Tim Redaksi