Warning dari Bos BGK Terkait rencana Penerapan Pajak Karbon

Selasa, 21 September 2021 – 09:05 WIB
Pimpinan Founder Bumi Global Karbon Ahmad Deni Daruri. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com, JAKARTA - Founder Bumi Global Karbon (BGK) Achmad Deni Daruri mengingatkan pentingnya sosialisasi kepada pelaku usaha dan masyarakat terkait rencana pemerintah menerapkan pajak karbon mulai tahun depan.

Rencananya ditetapkan minimal Rp 75 per kilogram (kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

BACA JUGA: Harga Gas Bumi Turun, Petrokimia Gresik Optimistis Bersaing di Pasar Global

“Sosialisasi terkait pajak karbon perlu dilakukan sejak awal. Pelaku usaha, lembaga pemerintah serta masyarakat luas, perlu paham akan adanya manfaat dari pajak karbon dan merupakan gerakan dukungan bagi pemerintah dalam mencapai target penurunan emisi nasional pada 2030,” papar Bos BGK Deni Daruri, Selasa (21/9).

Di Singapura, menurut Deni, pajak karbon dikenakan bagi industri yang menghasilkan 25.000 ton atau lebih CO2e dalam setahun.

BACA JUGA: Dirjen PPKL: Semua Orang Jadi Bagian dari Aksi Global untuk Proteksi Planet Bumi

Tarifnya $5 per ton emisi gas rumah kaca (GRK) setara ton karbon dioksida (tCO2e), sejak 2019 hingga 2023.

Bank Dunia maupun IMF merekomendasikan pajak karbon untuk negara berkembang berkisar US$35-US$100 per ton, atau sekitar Rp 507.500-Rp1,4 juta (kurs Rp14.500/US$) per ton.

BACA JUGA: Alih Kelola Blok Rokan, Momentum Wujudkan Kemandirian Energi

Untuk menentukan nilai total pajak karbon, menurut Deni, perlu adanya perhitungan emisi GRK yang menyeluruh dari kegiatan usaha yang dijalankan. Dengan demikian tarif pajak tersebut dapat tepat dan akurat.

Dia menyebut sering kali pelaku usaha bingung bagaimana menghitung emisi GRK. Padahal mereka memiliki laporan keberlanjutan perusahaan dimana di dalamnya terdapat komponen perhitungan emisi GRK.

Pada 2020, lanjutnya, hanya terdapat 39 emiten, 17 BUMN dan 21 perbankan yang menyusun laporan keberlanjutan periode 2019.

Di sisi lain, belum terdapat daerah di Indonesia, atau lembaga negara yang menyusun laporan keberlanjutan.

Hanya dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yaitu sebanyak 5 SKPD yang menyusun laporan keberlanjutan periode 2019.

“Padahal laporan keberlanjutan ini memuat informasi terkait kinerja lingkungan, sosial dan tata kelola perusahaan. Dengan menyusun laporan keberlanjutan, selain merupakan bentuk kepatuhan terhadap regulator, laporan ini menjadi media yang tepat untuk menginformasikan perhitungan emisi GRK sebagai dasar perhitungan pajak karbon,” tutur Deni.

Pelaku usaha, kata dia, dapat menggunakan laporan ini sebagai jawaban kepada berbagai pemangku kepentingan yang menanyakan kinerja lingkungan.

Dalam laporan keberlanjutan terdapat kerangka pelaporan yang mengarahkan pelaku usaha tentang apa dan bagaimana penulisan serta perhitungan dilakukan.

Pelaku usaha dapat menghitung serta menginformasikan perhitungan emisi GRK cakupan 1, 2 dan 3 serta kontribusi penurunan emisi yang dicapai.

Deni juga menjelaskan terkait metodologi serta faktor konversi yang digunakan dalam perhitungan.

Menurut Deni, laporan keberlanjutan memudahkan pelaku usaha untuk dapat memetakan strategi penurunan emisi serta mengkuantifikasikan kinerja tersebut.

Dengan adanya perhitungan emisi dalam laporan keberlanjutan, dia berharap implementasi pajak karbon dapat lebih terukur, akurat, kredibel dan objektif.

“Adanya pajak karbon ini mendorong percepatan transisi menuju ekonomi rendah karbon, transformasi energi menuju sistem energi terbarukan, mendorong penerapan teknologi rendah emisi, sekaligus menambah penerimaan negara,” ungkap Deni.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler