KOPERASI Warung Tegal (Kowarteg) telah membuat perjanjian dengan Pemprov DKI Jakarta agar tidak dilakukan pungutan pajak kepada warteg yang beromzet di bawah Rp 200 juta. Pasalnya, pungutan pajak akan menimbulkan masalah baru bagi para pelanggan warteg yang umumnya masyarakat kecil.
Demikian ditegaskan Ketua Umum Kowarteg se-Jakarta Sastoro kepada INDOPOS, Kams (2/2). Menurut mantan anggota DPR RI, pihaknya telah membangun komunikasi dengan Dinas Pelayanan Pajak (DPP) DKI terkait dengan kisruh rencana pemberlakuan pajak bagi rumah makan setaraf warteg.
"Pastinya sulit diterapkan. Saya sudah redam anak buah. Kita punya kesepakatan agar tidak pungut pajak kepada warteg beromzet Rp 550 ribu per hari," beber Sastoro.
Terkait dengan adanya upaya perlawanan terhadap Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran terkait dengan pajak, Sastoro menegaskan, sejauh ini pihaknya tidak melakukan upaya apapun.
Sebab belum ada warteg yang mengalami kerugian. "Ada pihak lain yang cari sensasi. Itu di luar orang warteg. Saya sudah melarang untuk ke LBH karena belum ada yang diperjuangkan. Sebab warteg beromzet di bawah 200 juta belum kena pajak," tandasnya.
Kendati demikian Sastoro sepakat apabila diberlakukan pengenaan pajak bagi warteg yang beromzet sekitar Rp 1 juta hingga Rp 2 juta per hari. "Yang omzetnya segitu selakan saja dikenakan pajak," tambah dia.
Sementara penegasan tidak berlakunya pungutan pajak bagi warteg ditegaskan Kepala DPP DKI Iwan Setiawandi. Apalagi perda dimaksud tidak spesifik mengatur masalah tentang pajak warteg. Melainkan hanya mengatur pajak restoran sebesar 10 persen dari omzet penjualan.
Restoran yang dimaksud dalam perda ini adalah fasilitas penyedia makanan atau minuman dengan dipungut bayaran yang termasuk rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar dan sejenisnya termasuk jasa boga dan catering.
"Kebijakan ini tidak hanya berlaku di Provinsi DKI Jakarta saja, melainkan juga berlaku diseluruh kabupaten atau kotamadya di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah," kata Iwan.
Dalam perda terkait telah disepakati batas minimal restoran yang tidak terkena pajak yaitu restoran atau warung makan yang memiliki omzet Rp200 juta per tahun ke bawah, atau Rp 16,6 juta per bulan atau Rp 550 ribu per hari. Kesepakatan ini dicapai dari hasil pembahasan Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DKI dan rapat kerja Komisi C DPRD DKI bersama pihak Eksekutif dan koperasi warteg (Kowarteg) pada tahun 2011 lalu.
Nilai tersebut naik tiga kali lipat dari rancangan perda pajak restoran yang menetapkan batas tidak kena pajak omset kurang dari Rp 60 juta per tahun, atau Rp5 juta per bulan atau Rp167 ribu per hari. Dan lebih tinggi 7 kali lipat dari Perda No. 8/2003 yang menetapkan omset kurang dari Rp30 juta per tahunk, atau Rp2,5 juta per bulan atau Rp83 ribu per hari. (rul)
BACA ARTIKEL LAINNYA... DPRD Anggap PAM Jaya Tidak Berguna
Redaktur : Tim Redaksi