jpnn.com, JAKARTA - Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan pemerintah perlu waspada terkait efek kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025.
Pasalnya, kenaikan tarif PPN 12 persen dikhawatirkan bakal makin menekan daya beli masyarakat yang kini disinyalir melemah. Maka, kestabilan konsumsi rumah tangga perlu dijaga.
BACA JUGA: PPN 12 Persen Tidak Berpihak kepada Rakyat, Tolong Dibatalkan
Setidaknya, kata Bhima, pemerintah harus melakukan dua hal untuk meredam efek kenaikan tarif pajak.
Pertama, yakni menaikkan standar upah minimum serta memberikan insentif fiskal ke industri manufaktur.
BACA JUGA: INDEF Menyoroti Rencana Kenaikan PPN & Makan Bergizi Gratis, Mengkhawatirkan
“Dari sisi konsumsi rumah tangga ini kan disumbang oleh upah minimum yang terlalu rendah dalam beberapa tahun terakhir, terutama usai UU Cipta Kerja. Jadi, kami sarankan untuk upah 2025 ini naiknya minimal 10 persen ke atas untuk menunjang daya beli kelas pekerja dan masyarakat rentan,” kata Bhima di Jakarta, Selasa (19/11).
Perbaikan upah itu, lanjut dia, harus menggunakan formulasi yang lebih baik dari sebelumnya.
Bhima menyebut guna menjaga tingkat serapan tenaga kerja, pemerintah disarankan memberikan insentif fiskal yang lebih tepat sasaran.
Sebelumnya, pemerintah telah memberikan insentif pajak ke sektor hilirisasi tambang.
Menurut Bhima, kini waktunya pemerintah memberikan insentif ke sektor manufaktur.
“Sekarang digeser saja ke industri yang sifatnya padat karya, seperti tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki. Apalagi beberapa perusahaan tekstil terancam bangkrut,” tambahnya.
Pemerintah pun diminta mengendalikan impor barang jadi yang menjadi ancaman pelaku usaha domestik, terutama UMKM.
Akan tetapi, Bhima berpendapat untuk mencegah risiko pada sektor ketenagakerjaan dari kenaikan tarif PPN adalah dengan membatalkan wacana PPN 12 persen.
“Dampak dari penurunan daya beli yang kemudian berpengaruh ke omzet pengusaha, lalu pengurangan eksisting tenaga kerja atau PHK maupun rekrutmen tenaga kerja baru yang menurun, ini harus diantisipasi segera," pungkas Bhima.(antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul