jpnn.com, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) dinilai harus segera mengantisipasi inflasi yang makin menanjak hingga akhir 2022.
Sebab, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memperkirakan inflasi yang mencapai 3,19 persen secara year to date pada Juli 2022 akan menjadi sekitar 6,5 persen sampai akhir tahun.
BACA JUGA: Ekonomi Global Dihantam Inflasi, Indonesia Wajib Bersiap!
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan BI perlu menaikkan suku bunga acuan setidaknya 50 basis poin (bps) pada tahun ini.
“Mau tidak mau, Bank Indonesia harus memperketat likuiditas dengan meningkatkan suku bunga acuan paling tidak 50 bps. Bank sentral Amerika Serikat The Fed sudah menaikkan suku bunga sampai 100 bps, biasanya kita hanya separuhnya dengan konsekuensi pertumbuhan ekonomi agak melambat,” katanya kepada Antara di Jakarta, Senin.
BACA JUGA: Ancaman Inflasi Makin Menguat, Kamrussamad Desak BI Mengevaluasi Suku Bunga
Bank Indonesia masih mempertahankan suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate sebesar 3,50 persen, tetapi telah menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah sekitar 6,0 persen sampai 7,5 persen mulai 1 Juli 2022.
“Kenaikan GWM sudah berjalan hampir tiga bulan, tetapi tetap tidak bisa menahan laju uang beredar yang juga menjadi penyebab inflasi,” ucap Tauhid.
BACA JUGA: BPS Catat Inflasi Juni 2022 Sebesar 0,61 Persen, Ini Pemicunya
Pemerintah telah berupaya menahan laju inflasi dengan menambah anggaran untuk subsidi energi hingga Rp 349,9 triliun agar masyarakat tidak terdampak langsung oleh kenaikan harga energi secara internasional.
“Pemerintah juga perlu terus memastikan ketersediaan barang pokok, meski harganya relatif mahal, misalnya untuk produk pangan impor seperti kedelai, sapi, bawang putih, gandum, dan gula,” katanya.
Tauhid membeberkan saat ini terjadikenaikan harga pangan dan energi dunia baik karena perang Rusia dengan Ukraina, proteksi yang dilakukan beberapa negara, maupun gangguan rantai pasok global menjadi penyebab inflasi tahun ini.
Di samping itu, nilai tukar rupiah juga mengalami pelemahan hingga delapan persen dalam enam bulan terakhir sehingga harga produk impor makin tinggi.
Tauhid memandang pemerintah perlu melanjutkan upaya mengendalikan inflasi yang berdampak paling signifikan terhadap pelaku usaha, juga masyarakat miskin dan rentan miskin.
“Dengan inflasi yang tinggi dan nilai tukar rupiah yang menembus Rp 15 ribu per USD, bahan-bahan yang diimpor akan semakin mahal. Orang yang memiliki utang dalam mata uang asing juga akan makin tinggi sehingga pelaku usaha dan masyarakat akan terdampak,” tegas Tauhid. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul