WASPADA! Stabilitas Ekonomi Nasional Bisa Terancam

Kamis, 06 Juli 2017 – 17:48 WIB
Uang Rupiah. Foto: JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan membeberkan ancaman yang bisa terjadi disebabkan jumlah utang negara yang mencapai Rp 3.672,33 triliun. Apalagi angka itu mayoritas berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) yang kepemilikannya dipegang investor asing.

Tercatat, total utang pemerintah dalam bentuk SBN hingga Mei 2017 sebesar Rp 2.943,73 triliun (80,2 persen). Sebanyak 39,15 persennya dipegang investor asing dalam jangka menengah dan panjang di atas 5 tahun.

BACA JUGA: Alasan Musibah Helikopter Basarnas Harus Diinvestigasi

Politikus Gerindra ini menyatakan kondisi tersebut memberi ancaman baru. Kontribusi SBN terhadap total pembiayaan utang rata-rata mencapai di atas 100 persen per tahun. Kecanduan yang berlebih terhadap SBN sudah pasti akan meningkatkan risiko fiskal.

"Risikonya adalah adanya ancaman pembalikan dana secara tiba-tiba dan dalam jumlah besar (sudden reversal) yang dapat berdampak sistemik, sehingga pasti menekan kestabilan perekonomian nasional," ungkap Heri kepada jpnn.com, Kamis (6/7).

BACA JUGA: DPR Apresiasi Kinerja Kemenhub Persiapkan Arus Mudik 2017

Lebih lanjut, katanya, agresifitas penerbitan SBN dapat memicu perang suku bunga perbankan dan pengetatan likuiditas. Akibatnya, bank akan tetap menawarkan suku bunga deposito di level yang tinggi meski suku bunga acuan terus diturunkan.

"Kondisi itu pada akhirnya berujung pada suku bunga kredit yang tetap bertengger di angka double digit. Akibatnya, likuiditas makin sempit dan akhirnya ekonomi riil macet sama sekali," tambah politikus asal Jawa Barat ini.

BACA JUGA: Politikus Gerindra Minta Pengelola Sevel Perhatikan Nasib Karyawannya

Hal lain yang juga menyedihkan adalah pembayaran bunga utang telah mencapai di atas Rp 200 triliun pada tahun 2017. Artinya telah terjadi kenaikan 15,8 persen dari target APBNP 2016 sebesar Rp 191,2 triliun. Jumlah itu menurut Heri, setara dengan 40 persen alokasi belanja non kementerian dan lembaga.

Kemudian, indikator jatuh tempo utang dengan tenor hingga 5 tahun naik dari 37,2 persen menjadi 38,6 persen dari total outstanding. Artinya, uang negara akan semakin terkuras untuk membayar utang yang menumpuk.

Pihaknya berharap pemerintah menghadirkan solusi atas jeratan defisit anggaran yang makin menganga lewat kebijakan fiskal yang kredibel dalam bentuk nyata bukan wacana.

Apa solusinya? Menurut Heri, beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, antara lain mengevaluasi efektifitas defisit APBN yang diakibatkan oleh kebijakan fiskal ekspansif.

Pemerintah juga harus tegas menetapkan kriteria atau prasyarat suatu program atau proyek yang boleh dibiayai dengan utang. Juga, mengembangkan strategi alternatif pembiayaan guna tetap menjaga kesinambungan fiskal.

"Jangan sampai terus bergantung pada SBN dan instrumen utang lainnya yang proporsinya mencapai lebih dari 80 persen dari total pembiayaan defisit. Jangan sampai gali lobang, tutup lobang," tutur Heri.

Selain itu, pemerintah harus mengontrol membengkaknya SBN yang dominan dimiliki asing. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah adanya pembalikan dana dalam jumlah besar secara tiba-tiba yang sudah pasti akan memberikan goncangan terhadap keuangan nasional.

"Utang harus diarahkan untuk sektor produktif seperti pertanian, industri pengolahan, maupun transportasi dan komunikasi yang memiliki multiplier lebih besar," tambah dia.(fat/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... DPR Minta Kemenhub Siaga Antisipasi Permasalahan Arus Balik


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler