JAKARTA - Batalnya rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) membuat faktor pendorong inflasi mengendur. Bank Indonesia (BI) pun meresponsnya dengan mempertahankan BI rate di level 5,75 persen.
Gubernur BI Darmin Nasution mengatakan, tingkat BI rate tersebut masih konsisten dengan tekanan inflasi dari sisi fundamental ke depan yang diperkirakan masih relatif terkendali. "Namun, BI tetap mewaspadai risiko tekanan inflasi dari kebijakan terkait BBM," ujarnya usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, Kamis (12/4).
Menurut Darmin, sepanjang triwulan I-2012 lalu, inflasi inti masih cenderung terkendali dan berada pada level yang relatif rendah, yakni 4,25 persen (yoy). Dia menyebut, sumber tekanan inflasi antara lain berasal dari rendahnya deflasi kelompok bahan pangan meskipun telah memasuki masa panen raya.
"Sementara itu, inflasi administered prices relatif rendah seiring dengan tidak adanya perubahan kebijakan dibidang harga komoditas strategis, yakni BBM," katanya.
Meski demikian, lanjut dia, terkait dengan potensi masih adanya kebijakan baru pemerintah di bidang BBM, seperti rencana pembatasan, maka BI akan terus mewaspadai ekspektasi inflasi. Namun, BI meyakini bahwa dampak kebijakan BBM terhadap inflasi akan bersifat temporer atau one-time shock. "Karena itu, jika ada kebijakan baru, maka BI akan mengambil langkah yang diperlukan untuk mengantisipasi dampak inflasi jangka pendek tersebut," ucapnya.
Sementara itu, terkait dengan perekonomian, Darmin mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan relatif tinggi di tengah risiko perlambatan ekonomi dunia tersebut dan kemungkinan ditempuhnya kebijakan Pemerintah terkait dengan BBM.
"Pada triwulan II-2012 pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 6,4 persen, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan prakiraan pertumbuhan untuk triwulan I-2012 sebesar 6,5 persen. Tahun ini, pertumbuhan ekonomi diperkirakan masih dapat mencapai kisaran 6,3 - 6,7 persen dan meningkat menjadi sekitar 6,4 - 6,8 persen pada tahun depan," jelasnya.
Adapun secara sektoral, BI memperkirakan seluruh sektor ekonomi masih akan tumbuh cukup tinggi, dengan pertumbuhan tertinggi pada sektor transportasi dan komunikasi; lalu sektor perdagangan, hotel dan restoran; kemudian sektor bangunan atau properti.
Bagaimana dengan pergerakan Rupiah? Darmin mengatakan, nilai tukar Rupiah selama triwulan I-2012 mengalami pelemahan. Rupiah secara point-to-point melemah sebesar 0,83 persen (qtq) ke level Rp 9.144 per USD atau secara rata-rata melemah 1,03 persen (qtq) menjadi Rp 9.066 per USD.
Menurut Darmin, tekanan terhadap Rupiah antara lain berasal dari penyesuaian portofolio investor asing akibat pengaruh sentimen global dan ekspektasi inflasi yang meningkat di dalam negeri. "Selain itu, permintaan valas juga cenderung meningkat seiring dengan kuatnya impor, termasuk impor migas untuk konsumsi BBM di dalam negeri," ujarnya. (owi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Perusahaan Tambang Banyak Ngemplang
Redaktur : Tim Redaksi