JAKARTA - Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK), Ronald Rofiandri mengatakan masyarakat perlu mewaspadai penggiringan opini terhadap revisi Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Masyarakat (Ormas). Pasalnya, aksi kekerasan yang dilakukan Ormas bisa saja dijadikan pembenaran untuk melakukan revisi.
"Masyarakat perlu paham dan waspada terhadap penggiringan wacana, seolah-olah solusi dari kekerasan yang dilakukan oleh berbagai ormas adalah UU Ormas. Padahal, sudah sejak lama kita punya KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) yang sudah lebih dari cukup untuk melakukan penindakan," kata Ronald kepada JPNN, Sabtu (18/2) malam.
Ronald menjelaskan KUHP sudah lebih dari cukup untuk menjerat pelaku, yang turut serta, yang memerintahkan suatu tindak kejahatan, ataupun yang menyatakan permusuhan ataupun kebencian terhadap suatu golongan secara terbuka di muka umum.
"Masalahnya, aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian mau atau tidak. Kepolisian sendiri masih harus berhadapan dengan persoalan incapacity dan rasio jumlah polisi dan jumlah penduduk yang tidak seimbang," ucapnya.
Dikatakan pula Ronald, penindakan tegas terhadap organisasi yang melakukan kekerasan tidak ada kaitannya dengan UU Ormas yang berlaku sekarang ataupun RUU Ormas yang sedang dibahas oleh DPR saat ini. Itu dua hal yang berbeda sama sekali.
"UU Ormas harusnya dicabut, bukan direvisi. Kerangka hukum yang benar dan jamak menjadi praktik adalah yayasan atau perkumpulan. Ormas itu tidak dikenal dan dia makhluk politik ciptaan Orde baru. Tolak UU Ormas, dan aturlah melalui UU Perkumpulan atau UU Yayasan," pungkasnya. (awa/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Perlu Ada Komisi Khusus Urusi Ormas
Redaktur : Tim Redaksi