Waspadai Perang Siber AS versus Iran

Sabtu, 11 Januari 2020 – 00:16 WIB
Pertahanan siber. Foto : Ilustrasi Pixabay

jpnn.com, JAKARTA - Praktisi keamanan siber Pratama Persadha mengatakan, saat ini sedang terjadi cyber warfare antara Amerika Serikat (AS) dan Iran, yang kemungkinan besar diikuti oleh negara-negara lain maupun kelompok-kelompok tertentu.

Ia mencontohkan, negara bagian Texas dilaporkan menerima serangan siber lebih dari 10 ribu kali sejak 6 Januari 2020. Website  Program Penyimpan Federal (The Federal Depository Library Program) diserang dengan mengubah tampilan situs menjadi ada bendera Iran, foto Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei dan gambar wajah Presiden AS Donald Trump dengan mulut berdarah karena ditinju oleh Pengawal Revolusi Iran.

BACA JUGA: Konflik AS-Iran Memanas, Pimpinan MPR Minta Pemerintah Segera Bersikap

“Dalam sejarah pertikaian Iran, AS dan Israel memang selalu melibatkan saling retas, saling serang sistem. Yang paling terkenal adalah serangan stuxnet dari Israel yang menargetkan sistem nuklir Iran,” kata Pratama, Jumat (10/1).

Chairman lembaga riset siber Communication & Information System Security Research Center (CISSReC) ini menambahkan, secara umum serangan dilakukan dengan cara melakukan deface ke website yang dimiliki pemerintah, agar masyarakat dunia melihat.

BACA JUGA: Parlemen AS Tolak Rencana Donald Trump Berperang dengan Iran

“Artinya ancaman serangan siber tidak hanya harus diwaspadai oleh instansi negara, namun juga perusahaan besar, bahkan akun media sosial para tokoh,” ungkapnya.

Menurut Pratama, di saat yang sama perang dipastikan juga terjadi di media sosial.  Ia berpendapat untuk wilayah ini, jelas AS diuntungkan karena platform Facebook, instagram, Twitter dan Youtube semuanya dibawah regulasi perundang-undangan yang berlaku di negeri Paman Sam itu.

Menurut dia, Foregn Surveillance Act mewajibkan raksasa teknologi di AS untuk memberikan backdoor dan privillage untuk lembaga pemerintah seperti FBI, NSA, CIA, DEA, kepolisian dan militer. “Artinya konten yang membantu propaganda Iran akan sangat mudah dihapus dan akun-akun mudah di-suspend,” ujarnya.

Ia mengatakan bahwa Indonesia pasti terdampak, baik itu secara ekonomi maupun hubungan diplomatik. Ia menambahkan, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sudah meminta semua pihak menahan diri dan PBB segera turun tangan menengahi. Namun tidak bisa dipungkiri pastinya ada pihak di tanah air yang ikut terbawa panasnya suasana.

Pratama menambahkan, yang perlu dilakukan masyarakat adalah menghindari pemakaian VPN (virtual private network) menggunakan negara-negara yang sedang berkonflik beserta sekutunya. VPN digunakan untuk mengelabui blokir internet maupun untuk mengamankan jalur komunikasi, masyarakat sempat ramai memakai VPN saat medsos dibatasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika pada pertengahan 2019.

“Kenapa tidak disarankan menggunakan IP negara berkonflik, hal ini untuk menghindari adanya serangan malware ke IP negara yang sedang berkonflik. Serangan malware massif bisa saja terjadi seperti saat wannacry dan nopetya hadir di pertengahan 2017,” jelasnya.

Seperti diketahui, serangan Amerika Serikat yang menewaskan Komandan Pasukan Quds Iran Mayor Jenderal Qassem Soleimani berlanjut dengan serangan Iran ke pangkalan militer AS di Irak.

Iran mengklaim berhasil menewaskan 80 orang, sedangkan pihak AS mengklaim tidak ada yang tewas dalam serangan balasan Iran. Trump sendiri dalam keterangan persnya menerangkan tidak akan membalas Iran dengan kekuatan militer. Presiden AS Donald Trump mengedepankan sanksi ekonomi dan dagang yang akan mempersulit Iran. (boy/jpnn)

VIDEO: Simak! Klarifikasi Lengkap Siwi Sidi Pramugari Garuda


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler