Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan hampir 15 juta orang tewas baik oleh COVID-19 atau dampaknya selama dua tahun terakhir, atau lebih dari dua kali lipat jumlah kematian resmi yang dilaporkan yakni 5,4 juta orang.

Ada 14,9 juta kematian berlebih yang terkait dengan COVID-19 pada akhir 2021, kata badan PBB itu pada hari Kamis (05/05).

BACA JUGA: Asian Games 2022 Resmi Ditunda, Ada Apa?

Jumlah resmi kematian yang secara langsung dikaitkan dengan COVID-19 dan dilaporkan ke WHO pada periode itu, dari Januari 2020 hingga akhir Desember 2021, sekitar 5,4 juta jiwa.

Angka kematian berlebih yang dirujuk WHO mencakup orang-orang yang meninggal karena COVID-19 serta mereka yang meninggal sebagai akibat tidak langsung dari wabah ini, termasuk orang-orang yang tidak dapat mengakses layanan kesehatan ketika sistem kesehatan kewalahan selama gelombang besar infeksi.

BACA JUGA: Senat Amerika Serikat Setujui Putri John F Kennedy Jadi Duta Besar untuk Australia

Jumlah ini juga memperhitungkan kematian yang dapat dihindari selama pandemi, misalnya, karena risiko kecelakaan lalu lintas yang lebih rendah selama lockdown.

Angka-angka itu didasarkan pada data yang dilaporkan negara dan pemodelan statistik, tapi WHO belum merinci angka-angka untuk membedakan antara kematian langsung akibat COVID-19 dan penyebab lain sebagai dampak pandemi.

BACA JUGA: Gubernur Sulbar Ali Baal Masdar Berpamitan, Lalu Minta Maaf

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, menggambarkan angka itu sebagai sesuatu yang "menyadarkan", dan mengatakan bahwa fakta ini harus mendorong negara-negara untuk berinvestasi lebih pada kapasitas kesehatan mereka sehingga mampu meredam keadaan darurat kesehatan di masa depan.

Albert Ko, spesialis penyakit menular di Yale School of Public Health yang tidak terkait dengan penelitian WHO, mengatakan pengumpulan data tersebut sangat penting.

"Ini mungkin tampak seperti latihan menghitung butiran kacang, tetapi angka WHO ini sangat penting untuk memahami bagaimana kita harus memerangi pandemi di masa depan sambil terus merespon kondisi ini," kata Albert.

Misalnya, katanya, keputusan Korea Selatan untuk berinvestasi besar-besaran dalam kesehatan masyarakat setelah menderita wabah MERS yang parah memungkinkannya untuk keluar dari COVID-19 dengan tingkat kematian per kapita sekitar seper-20 dari Amerika Serikat. Sengketa angka selama pandemi

Angka akurat tentang kematian COVID-19 telah menjadi masalah selama pandemi, karena angka tersebut dianggap hanya sebagian kecil dari sejumlah besar kehancuran akibat virus ini. Angka yang tidak akurat ini sebagian besar disebabkan oleh angka tes yang terbatas dan perbedaan cara negara menghitung kematian akibat COVID-19.

Menurut angka resmi terbaru yang dilaporkan ke WHO – dan dengan hitungan terpisah yang disimpan oleh Universitas Johns Hopkins – ada lebih dari 6 juta kematian akibat COVID-19 yang tercatat hingga saat ini.

Namun, para ilmuwan di Institute of Health Metrics and Evaluation di University of Washington menghitung kemungkinan ada lebih dari 18 juta kematian akibat COVID-19 dari Januari 2020 hingga Desember 2021.

Temuan mereka muncul dalam sebuah penelitian terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Lancet.

Dan sebuah tim yang dipimpin oleh peneliti Kanada memperkirakan, di India saja ada 3 juta lebih kematian akibat COVID-19 yang tidak terhitung,

Beberapa negara, termasuk India, telah memperdebatkan metodologi WHO untuk menghitung kematian akibat COVID-19, dan menolak gagasan bahwa ada lebih banyak kematian di luar angka resmi.

Awal pekan ini, pemerintah India merilis angka baru, yang menunjukkan ada 474.806 kematian lebih banyak pada tahun 2020 dibandingkan tahun sebelumnya, tetapi tidak menjelaskan berapa banyak yang terkait dengan pandemi.

India tidak merilis perkiraan kematian apa pun untuk tahun 2021, ketika varian Delta yang sangat menular menyapu negara itu, menewaskan ribuan jiwa lagi.

Albert Ko mengatakan bahwa angka yang lebih baik dari WHO mungkin juga menjelaskan beberapa misteri tentang pandemi, seperti mengapa Afrika menjadi salah satu yang paling sedikit terkena virus, meski pun tingkat vaksinasinya rendah.

"Apakah angka kematiannya begitu rendah karena kita tidak bisa menghitung angka kematian dengan akurat, atau ada faktor lain yang lebih bisa menjelaskan itu?" katanya seraya menambahkan bahwa jumlah kematian di negara-negara kaya seperti Inggris dan AS membuktikan bahwa sumber daya saja tidak cukup untuk meredam wabah global. Jumlah korban tewas yang sebenarnya mungkin tidak akan pernah diketahui

Dr Bharat Pankhania, ahli kesehatan masyarakat di Universitas Exeter Inggris, mengatakan kita mungkin tidak akan pernah mendekati jumlah kematian yang sebenarnya akibat COVID-19, terutama di negara-negara miskin.

"Ketika Anda memiliki wabah besar di mana orang mati di jalanan karena kekurangan oksigen, mayat ditinggalkan atau orang harus dikremasi dengan cepat karena kepercayaan budaya, kita akhirnya tidak pernah tahu berapa banyak orang yang meninggal," jelasnya. 

Meski pun Dr Pankhania mengatakan perkiraan jumlah kematian COVID-19 saat ini masih sedikit dibandingkan dengan pandemi flu Spanyol 1918, ketika para ahli memperkirakan hingga 100 juta orang meninggal dunia.

Ia mengatakan fakta begitu banyak orang meninggal meski pun ada kemajuan pengobatan modern, termasuk vaksin, terasa memalukan.

Dia juga memperingatkan biaya COVID-19 bisa jauh lebih merusak dalam jangka panjang, mengingat meningkatnya beban long COVID-19.

"Pada flu Spanyol, ada flu dan kemudian ada beberapa penyakit [paru-paru] yang diderita orang, tetapi itu saja," katanya.

"Tidak ada kondisi imunologis yang bertahan lama seperti yang kita lihat sekarang dengan COVID," katanya.

"Kita tidak tahu seberapa jauh kehidupan orang-orang dengan long COVID akan terdampak, mempersingkat hidup mereka, atau apakah mereka akan memiliki infeksi berulang yang akan menyebabkan lebih banyak masalah."

Artikel ini diproduksi oleh Hellena Souisa dari ABC News.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Wabah Covid-19 Belum Teratasi, Kota Terkaya China Mulai Kembali Beroperasi

Berita Terkait