Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan negara-negara seharusnya tidak membeli vaksin penguat atau 'booster' bagi warga yang sudah divaksinasi, sementara banyak negara lain yang bahkan belum memberikan vaksin dosis pertama untuk warganya.

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesu mengatakan tingkat kematian meningkat, varian Delta menjadi varian dominan yang memakan korban jiwa, dan banyak negara belum memiliki persediaan vaksin yang cukup untuk melindungi tenaga kesehatan.

BACA JUGA: Menkes Budi: Vaksinasi Dosis Ketiga untuk Nakes Dimulai Pekan Ini

"Varian Delta menjalar ke seluruh dunia, seperti bara api, yang menyebabkan peningkatan kasus dan kematian," kata Dr Tedros.

Dia mengatakan varian Delta, yang pertama kali ditemukan di India, sekarang sudah ditemukan di 104 negara.

BACA JUGA: Baidowi Dukung Vaksinasi Tahap Ketiga untuk Tenaga Kesehatan

"Kesenjangan global akan pasokan vaksin COVID-19 sangat timpang dan tidak adil," katanya.

"Beberapa negara dan kawasan malah sudah mulai membeli jutaan dosis vaksin penguat atau 'booster', sementara negara lain tidak memiliki pasokan untuk melakukan vaksinasi terhadap pekerja kesehatan dan mereka yang lemah."

BACA JUGA: 1,4 Juta Vaksin Gotong Royong Jenis Sinopharm Tiba di Indonesia

Dr Tedros secara tegas menyebut dua perusahaan pembuat vaksin, yaitu Pfizer dan Moderna sebagai perusahaan yang berusaha menyediakan vaksin 'booster' ke negara-negara yang sudah memiliki tingkat vaksinasi tinggi.

Ia juga mengatakan dua perusahaan tersebut juga seharusnya memberikan vaksin kepada program COVAX, yakni program vaksin yang dijalankan oleh WHO yang dikhususkan bagi negara-negara miskin dan menengah.

Dr Tedros mengatakan kesenjangan besar dalam kepemilikan vaksin antara negara kaya dan miskin "membuat keputusan untuk tidak memberikan perlindungan kepada mereka yang membutuhkan". Mengapa 'booster' dianggap tak dibutuhkan saat ini?

Ilmuwan Kepala WH), Soumya Swaminathan, mengatakan untuk saat ini belum ada bukti cukup soal perlunya vaksin penguat atau 'booster' bagi mereka yang sudah menerima vaksinasi penuh dua kali.

Vaksin penguat mungkin diperlukan nantinya, tapi untuk saat ini masih belum diperlukan.

"Semua harus didasarkan pada sains dan data, bukannya tergantung pada perusahaan tertentu yang mengatakan vaksin mereka harus digunakan sebagai penguat," kata Dr Swaminathan.

Kepala Program Darurat WHO, Mike Ryan mengatakan negara yang sudah memiliki persediaaan vaksin berlebihan saat ini akan melihat ke belakang nantinya dengan perasaan malu atas tindakan yang mereka lakukan.

"Sekarang ini ada ratusan juta penduduk di dunia yang tidak memiliki perlindungan sama sekali," kata Dr Ryan.

"Kita akan melihat ke belakang dengan rasa marah, kita akan melihat ke belakang dengan rasa malu bila ada negara-negara yang menggunakan dosis sebagai vaksin penguat, di saat negara-negara yang lemah masih menjadi korban tanpa adanya vaksin sama sekali."

Reuters/AP

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari  ABC News 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Angka Penularan COVID di Sydney Turun Hari Ini, tetapi Sudah Dua Orang Meninggal

Berita Terkait