jpnn.com, JAKARTA - Penyelesaian sengketa bisnis internasional melalui jalur arbitrase sudah menjadi tren dalam beberapa tahun terakhir.
Ada sejumlah alasan mengapa perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia, baik PMA maupun PMDN, juga memilih arbitrase untuk menyelesaikan sengketa bisnis.
BACA JUGA: Wincen Santoso Masuk Daftar 20 Pengacara Paling Berpengaruh di Singapura
Wincen Santoso, pakar hukum arbitrase dan founding partner pada kantor hukum Santoso, Martinus & Muliawan Advocates, menyebut beberapa alasan.
Pertama, karena adanya konvensi New York tahun 1958 yang mengatur mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di 168 negara.
BACA JUGA: Kalah di Pengadilan Arbitrase, Garuda Diminta Berbenah dan Mengambil Langkah Terbaik
Kedua, para pihak yang bersengketa dapat memilih arbiternya sendiri. Karena itu, sosok arbiternya harus sosok yang bisa dipercaya, memiliki integritas, kejujuran, keahlian, dan profesionalisme di bidangnya masing-masing.
“Yang terpenting sama sekali tidak mewakili pihak yang memilihnya. Ia seorang yang independen dan bukan penasehat hukumnya,” kata Wincen Santoso dalam keterangannya kepada wartawan, Senin (29/11).
BACA JUGA: Bentrok Kopassus vs Brimob, Simak Pernyataan Tegas Jenderal Andika
Ketiga, proses persidangan arbitrase berlangsung secara rahasia.
Keempat, putusan arbitrase merupakan putusan final dan mengikat bagi para pihak.
Wincen menjelaskan hal tersebut dalam webinar secara daring Indonesian Arbitration Day yang digelar International Chamber of Commerce (ICC) Jumat (26/11).
Sejumlah pembicara dari domestik maupun internasional hadir dalam webinar bertema "Indonesia sebagai Tempat Kedudukan Hukum Arbitrase".
Wincen menyebut saat ini ada lima lembaga arbitrase internasional yang paling disukai para investor yang ingin menyelesaikan sengketa bisnis, antara lain International Chamber of Commerce (ICC), London Court of International Arbitration (LCIA), Hong Kong International Arbitration Centre (HKIAC), China International Economic and Trade Arbitration Commission (CIETAC), dan Singapore International Arbitration Centre (SIAC).
Menurut Wincen infrastruktur hukum Indonesia saat ini sudah jauh berbeda dibandingkan 10-20 tahun lalu.
Hal ini terbukti dengan adanya perbaikan peringkat Indonesia dari tahun ke tahun dalam ‘ease of doing business’. Kemudian adanya dukungan dari lembaga peradilan.
“Kita (Indonesia) sudah on the right direction. Track-nya sudah benar, tinggal bikin gebrakan-gebrakan saja,” kata Wincen.
Namun, dia tak menampik masih banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan agar Indonesia benar-benar siap menjadi tempat kedudukan hukum (seat) arbitrase internasional untuk penyelesaian sengketa bisnis.
Langkah pertama, UU Arbitrase harus direvisi agar dapat mengakomodir best practices dunia internasional. Kemudian pembenahan sistem hukum, infrastruktur, dan sumber daya manusia. “Kalau semua sudah ready, kita siap bersaing,” ujarnya.
Negara tetangga seperti Singapura sudah banyak membuat aturan untuk mendukung arbitrase. Salah satunya, putusan atau perintah arbiter di Singapura disamakan dengan putusan pengadilan Singapura.
“Kalau tidak melaksanakan perintah pengadilan, maka mereka dapat diancam dengan contempt of court. Itu bisa pidana.” (esy/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur : Soetomo
Reporter : Mesya Mohamad