jpnn.com, JAKARTA - Salah satu pengacara muda dari Indonesia masuk dalam daftar 20 pengacara paling berpengaruh versi Singapura Business Review 2019.
Para pengacara di bawah usia 40 tahun itu dianggap telah berkontribusi besar bagi status Singapura sebagai pusat penyelesaian sengketa teratas di Asia Pasifik.
BACA JUGA: Protes, Eggi Sudjana: Advokat Tidak Dapat Dituntut
Berdasarkan Singapura Business Review 2019 yang dirilis Jumat (20/12), 20 pengacara telah muncul sebagai sosok yang paling menjanjikan dalam industri ini selama tahun keenam dari tokoh-tokoh hukum Singapore Business Review yang berusia 40 dan di bawahnya pada 2019.
Para profesional yang dipilih berspesialisasi dalam berbagai masalah seperti penyelesaian sengketa, restrukturisasi dan insolvensi, merger dan akuisisi (M&A), serta industri seperti real estat, kedirgantaraan, ritel, perbankan dan keuangan, dan energi.
BACA JUGA: Gara-gara Gebrakan Bang Buyung, Banyak Orang Minat Jadi Advokat
“Ke-20 pengacara ini telah memberi saran kepada klien-klien terkenal tentang transaksi multimiliar secara lokal dan di seluruh Asia. Mereka juga telah berkontribusi dalam status Singapura sebagai pusat penyelesaian sengketa teratas,” tulis Singapura Business Review dalam keterangan tertulis di laman resminya.
Salah satu dari daftar 20 pengacara paling berpengaruh di Singapura itu berasal dari Indonesia. Wincen Santoso (32 tahun) dari DLA Piper Singapore merupakan satu-satunya pengacara di kantor DLA Piper Singapura yang menangani litigasi dan kesepakatan perusahaan.
BACA JUGA: Arief Poyuono Menyerukan Tolak Ide Jokowi yang Satu Ini
Wincen telah menangani beragam portofolio kasus dan transaksi sengketa internasional di seluruh Asia, terutama mengenai anti-trust, anti-korupsi, arbitrase internasional, akuisisi, dan restrukturisasi. Dia adalah pengacara Indonesia dan New York yang berkualifikasi ganda dan anggota dari Chartered Institute of Arbitrators.
Wincen Santoso telah memfasilitasi dan berbicara di Pusat Arbitrase Internasional Singapura dan Masyarakat Hukum Singapura.
Wincen Santoso merupakan advokat Indonesia dan New York yang juga jebolan accelerated route to Fellowship Chartered Institute of Arbitrators. Dia menilai saat ini arbitrase menjadi primadona untuk penyelesaian sengketa bisnis di skala internasional.
Semakin sentralnya perekonomian benua Asia bagi dunia turut memberikan dampak bagi meningkatnya volume transaksi bisnis internasional di kawasan ini. Sengketa bisnis pun akhirnya menjadi hal yang tidak terelakkan.
"Advokat karenanya dituntut untuk selalu mengasah keterampilan dan pengalaman serta penguasaan peraturan abitrase internasional sebagai alternatif penyelesaian sengketa," ujar Wincen dalam pernyataan resminya, Minggu(22/12).
Wincen pernah bercerita Indonesia masuk 5 besar setelah Amerika Serikat, India, Malaysia, dan China yang paling banyak berperkara di Singapore International Arbitration Centre (SIAC).
Bila 2017 hanya ada 32 pihak yang melibatkan perusahaan Indonesia di SIAC, tahun lalu jumlahnya meningkat ada 62 pihak yang melibatkan perusahaan Indonesia di Singapore International Arbitration Centre (SIAC). Jumlah itu melonjak drastis dibanding tahun sebelumnya.
"Padahal, jumlah itu belum termasuk perkara-perkara yang melibatkan perusahaan Indonesia di International Chamber of Commerce (ICC), London Court of International Arbitration (LCIA), dan Hong Kong International Arbitration Centre (HKIAC)," lanjutnya.
Hal ini disebabkan makin derasnya investasi asing masuk ke Indonesia dan juga sebaliknya banyak perusahaan Indonesia yang go international, sehingga sengketa bisnis yang melibatkan perusahaan asing dan perusahaan lokal pun makin marak.
Sengketa bisnis yang melibatkan pelaku bisnis internasional tidak jarang berujung pada arbitrase internasional.
"Terbukti, jumlah kasus sengketa bisnis yang melibatkan perusahaan Indonesia di tingkat arbitrase internasional pun makin meningkat tajam," sambungnya.
Wincen menjelaskan, arbitrase layaknya seperti pengadilan swasta, di mana para pihak berperkara dapat menunjuk arbiter (hakimnya). Arbitrase juga menyidangkan perkara untuk tingkat pertama dan terakhir, sehingga tidak dikenal istilah banding atau kasasi. (esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad