Wiranto: Indonesia Sedang Sakit

Minggu, 05 Agustus 2012 – 01:26 WIB
MAKASSAR -- Ketua Umum DPP Partai Hanura, Wiranto menilai masih terlalu banyak kebijakan publik yang tidak mencerminkan kehendak rakyat tanpa memberikan solusi. Semua ini tentu tidak lepas dari rendahnya kompetensi para pemimpin di lembaga eksekutif maupun legislatif.
   
"Terdapat kesenjangan antara beban tugas dan tingkat kompetensi yang dimiliki para pejabat. Pada kondisi seperti itu, tidak akan mungkin menghasilkan kebijakan yang memenuhi standar kenegarawanan," kata Wiranto pada diskusi Asosiasi Prefesor Indonesia (API) di Studio Mini Redaksi Harian FAJAR (JPNN Group), Sabtu (4/8).
   
Wiranto mengatakan ada tiga wilayah strategis yang dilanda krisis dalam proses kepemimpinan saat ini. Ketiganya itu yakni pada proses rekrutmen, seleksi dan pelaksanaan tugas.
   
Dari segi rekrutmen, mantan Panglima TNI ini melihat belum semua partai politik sebagai wadah untuk melakukan rekrutmen calon pemimpin yang melakukan langkah-lankah terencana membangun kompetensi. Mereka lebih disibukkan dengan jalan pintas mencari tokoh populis.
   
Dari segi seleksi, ia melihat berbagai ketidakberesan utamanya politik uang yang banyak mengambil peran dalam proses seleksi pemimpin kita. Tanpa ada standar yang jelas serta tanpa uji kelayakan. Dengan demikian, jaminan untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas tak akan pernah terwujud.
   
"Dalam pelaksanaan tugas, banyak penyimpangan yang dilakukan para pemimpin karena rendahnya kompetensi. Keadaan menjadi lebih parah tatkala pemimpin eksekutif beramai-ramai merangkap jabatan sebagai pengurus partai politik," tambah pria yang menyatakan diri kembali siap pada Pilpres 2014 mendatang itu.
   
Jika Wiranto benyak membahas tentang pemipin serta kebijakan yang dianggapnya tak bijak itu, lain halnya dengan pemicara lainnya Direktur Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Prof Djaali. Ia lebih banyak menyoroti masalah pendidikan yang dianggapnya tak mengayomi itu.
   
"Bayangkan saja, bagi guru yang mau disertifikasi mereka harus mengisi ratusan lembar fortopolio. Sementara guru yang mengisi rutin mengisi fortopolio itu sudah pasti prestasi mengajarnya di sekolah akan menurun," kritiknya.
   
Djaali juga mengkritik kondisi yang dialami dosen. Setiap tahun, setiap dosen harus mengisi borang kinerja melalui internet ke DIKTI. Ia mengatakan, bagaimana mungkin DIKTI yang ada di Jakarta akan menilai dosen yang ada di Makassar dan daerah lainnya. Lalu apa fungsi dekan atau rektor jika tak diberikan wewenang untuk memberikan penilaian kinerja terdapat setiap dosennya.
   
"Belum lagi dosen yang ingin menjadi profesor dan guru besar. Kini mereka dipersulit dengan sekelumit syarat seperti penerbitan karya ilmiah pada jurnal yang diakui termasuk jurnal internasional. Sungguh, kini hanya berkutak pada sekelumit kebijakan yang justru tak memberikan kejelasan," ujarnya.
   
Djaali bahkan menyimpulkan bahwa pendidikan di Indonesia gagal totol dalam mewujudkan pendidikan yang maksimal. Bersamaan dengan kuatnya keinginan meningkatkan mutu pendidikan yang didukung oleh  peningkatan komitmen untuk melipatgandakan dana pendidikan nasional, akhlak anak bangsa makin memprihatinkan, bahkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 juga tidak terinternalisasi secara memadai.
   
Sekretaris API Sulsel, Prof Alimin Maidin yang hadir dalam diskusi mempertanyakan tentang apa yang mesti dilakukan untuk mengambalikan kondisi bangsa yang sedang sakit ini. Menanggapi hal itu, Wiranto mengatakan tentu peminpin Indonesia nantinya harus yang mengerti masalah dan berani bertindak. "Intinya, pemimpin Indonesia nantinya adalah pemimpin yang bersih dan bebas dari segala kepentingan," ungkap Wiranto. (fajar)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi Perjuangkan Nasib Warga Tanah Merah

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler