Bagi sebagian kelompok, pengibaran bendera Bintang Kejora menjadi simbol perjuangan kemerdekaan rakyat Papua, tapi kebanyakan warga Indonesia menganggapnya sebagai sebuah pengkhianatan terhadap Bhineka Tunggal Ika.

Papua menjadi sebuah topik yang terlalu sensitif untuk dibicarakan karena dianggap memecah belah, karenanya seringkali ada permintaan agar pihak asing tak perlu ikut campur soal Papua.

BACA JUGA: Di Tengah Kekhawatiran Serangan Tiongkok, PM Australia Tunjuk Perempuan Jadi Kepala Badan Intelijen

Laporan-laporan dari organisasi internasional soal kekerasan hak asasi di Papua telah dianggap sebagai "fakta" bagi mereka yang mengaku berjuang untuk rakyat Papua.

Tapi bagi sebagian lain, laporan-laporan ini justru dianggap sebagai "provokatif" dan "hoax", karena dianggap tak sesuai dengan kondisi di Papua saat ini.

BACA JUGA: Lukisan Batu Tertua di Dunia Ditemukan di Sulawesi Selatan

Setiap tahunnya di tanggal 1 Desember, aktivis pro kemerdekaan Papua di sejumlah negara mengibarkan bendera Bintang Kejora sebagai sebuah simbol perlawanan terhadap Indonesia dan keinginan untuk memisahkan diri.

Termasuk di Sydney, dimana bendera Bintang Kejora berkibar di balai kota Leichhardt, yang kemudian menimbulkan kecaman dari banyak warga Indonesia, termasuk di Australia, yang menganggapnya sebagai "sebuah penghinaan".

BACA JUGA: Honda Segera Akhiri Penjualan Jazz di Australia

Kepada ABC Indonesia, Dewan Kota Inner West mengatakan keputusan mereka untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora adalah sebagai "simbol dukungan kepada gerakan Papua Merdeka".

Bendera tersebut kemudian bersanding dengan bendera Australia dan bendera Aborigin, yang berwarna hitam dan merah dengan lingkaran kuning di tengahnya. Photo: Aksi pendukung Papua Merdeka menuntut referendum di Federation Square, Melbourne, pada 15 September 2019. (Istimewa)

 

"Kami tidak menerima keluhan dari warga pada umumnya, terutama dari warga di kawasan Inner West selama bertahun-tahun mengibarkan bendera Papua," ujar juru bicara Dewan Kota Inner West.

Rupanya, pengibaran bendera di awal bulan Desember oleh dewan kota tersebut sudah dilakukan lebih dari sepuluh tahun.

Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Sydney, atau KJRI Sydney, tidak tinggal diam dengan pengibaran ini dan telah mengeluarkan protes kepada Walikota Inner West Council.

"Pemerintah RI menyesalkan langkah Inner West Council mengizinkan pengibaran simbol separatis Papua di balai kota Leichhardt," kata Konsul Jenderal RI Sydney, Heru Hartanto Subolo.

"Langkah Inner West Council dapat disalahartikan oleh kelompok seperatis Papua bahwa Pemerintah Australia mendukung gerakan kelompok tersebut," tambahnya kepada ABC Indonesia.

Ia menilai dukungan yang diberikan oleh pihak Inner West Council kemungkinan disebabkan oleh para pejabat dewan kota yang belum mendapatkan "informasi akurat mengenai perkembangan nyata" di Papua.

Karenanya, KJRI Sydney telah mengagendakan untuk membicarakan situasi terkini di Papua bersama Dewan Kota Inner West saat keduanya akan bertemu. Meminta intervensi internasional

Hendra Ong, warga Indonesia yang bekerja sebagai sopir taksi di Sydney mengatakan sikap dewan kota telah mencoreng nama Indonesia.

"Ini telah menghina dan merendahkan bangsa Indonesia, karena pemerintahan federal Australia sudah mengakui bahwa Papua itu adalah bagian dari Indonesia."

ABC Indonesia melaporkan peristiwa pengibaran bendera tersebut dan mendapatkan reaksi yang menunjukkan rasa kekecewaan dan kemarahan dari pembaca, baik di Indonesia dan Australia.

"Australia provokatif" dan "Australia seharusnya lebih mengurus masalah sendiri soal warga Aborigin sebelum ikut campur Papua" adalah komentar yang paling sering muncul di halaman Facebook ABC Indonesia, setiap kali ada laporan soal Papua. External Link: Facebook Pengibaran Bendera Indonesia

 

Melihat aktivitas kelompok yang mendukung Papua Merdeka di Australia, sejumlah kelompok warga Indonesia di New South Wales pernah mengajak warga Indonesia di Australia untuk membuat video.

Mereka ingin menyampaikan pesan bahwa Papua adalah bagian tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

"Kita Indonesia, Papua saudara kita, NKRI harga Mati," adalah ucapan dalam video tersebut.

Salah satu yang membuat video tersebut adalah kelompok relawan Joko Widodo di Sydney saat kampanye menjelang pemilihan presiden.

Kepada ABC Indonesia mereka mengatakan video ini bertujuan untuk melawan narasi yang disajikan oleh aktivis pendukung kemerdekaan Papua di Australia.

"Kita melihat diskusi soal Papua di Australia ini tidak seimbang, karenanya ini adalah sikap pernyataan politik kami," ujar salah satu anggotanya.

Di Senayan, wakil rakyat Charles Honoris dari PDIP dan kini duduk di Komisi I DPR RI mengatakan sebagai negara demokrasi, Australia memberikan kebebasan bagi warganya untuk menyampaikan pendapat.

Hal inilah yang menurutnya dimanfaatkan oleh para pendukung Papua merdeka untuk kemudian mendorong agendanya, meski gerakan tersebut tak bisa dilihat sebagai kebijakan luar negeri Australia.

"Masyarakat diaspora Indonesia di Australia juga sebetulnya bisa saja menyuarakan dukungan terhadap kedaulatan NKRI," katanya.

Charles menilai meski tidak ada gerakan massal di Australia yang mendukung "gerakan seperatis Papua", ia mendukung agar perwakilan RI di Australia tetap melakukan "public diplomacy".

"Warga di negara penempatan harus bisa diberikan pemahaman yang lebih baik soal kondisi di Papua," ujar Charles, yang juga berpendapat pendekatan Pemerintahan Jokowi soal Papua lebih mengedepankan pembangunan warganya, ketimbang kekerasan. Photo: Kelompok di Sydney ini menggunakan kaos untuk menunjukkan Papua adalah bagian dari Indonesia. (Foto: Koleksi pribadi)

 

Menurut peneliti dan pakar Papua di University of Melbourne, Dr Richard Chauvel, memang ada kesalahpahaman ketika sebagian warga Indonesia menyebut "Australia" dalam pembicaraan Papua.

"Apakah yang dimaksud Australia sebagai negara? pemerintah dan kebijakannya? atau warganya?" kata Dr Chauvel.

Tak hanya itu, ia sudah lama mendengar tuduhan Australia "memiliki kepentingan di Papua", meski ia menanggapnya sebagai "sebuah konspirasi yang sudah lama tak terbukti".

Sebaliknya, ia menjelaskan sikap pemerintah Australia sudah jelas, yakni mengakui kedaulatan NKRI dan kembali dipertegas lewat Perjanjian Lombok yang ditandatangani Indonesia dan Australia tanggal 13 November 2006.

Menter Luar Negeri RI saat itu, Hassan Wirajuda, mengatakan perjanjian tersebut "bertujuan untuk menghapus kecurigaan antara dua negara dan tak mendukung gerakan separatis".

Pemicu dibuatnya perjanjian adalah ketegangan antara Jakarta dan Canberra setelah Australia memberikan visa sementara kepada 42 pencari suaka asal Papua.

Tapi di tahun 2017, hubungan kedua negara kembali terganggu bahkan menyebabkan kerjasama militer kedua negara sempat dihentikan, setelah adanya materi soal Papua di markas pasukan Komando Australia di Perth, yang dianggap Indonesia telah "menghina".

"Saya rasa pemerintah Indoensia sudah sangat efektif untuk membuat pemerintah Australia diam," ujar Dr Chauvel kepada ABC Indonesia.

Menurutnya, sikap Australia yang berhati-hati berbicara soal Papua tak lepas dari "trauma" di masa lalu dengan peranannya dalam proses referendum yang membuat Timor Leste memisahkan diri dari Indonesia.

"Pemerintah Australia sangat enggan untuk mengatakan apapun di hadapan publik ... [meski] pola dari kejahatan hak asasi manusia [di Papua] terus berlanjut," ujarnya.

Menanggapi sejumlah kegiatan mendukung Papua merdeka di Australia, Dr Chauvel menganggapnya masih terbilang kecil, jika dibandingkan dengan dukungan yang diberikan warga Australia kepada Timor Leste untuk memisahkan diri. Photo: Presiden Joko Widodo pernah mengunjungi Papua di akhir Agustus 2019, beberapa saat setelah terjadi kerusuhan di Manokwari. (Foto: Tribun News, Seno Tri Sulistiyono)

 

Warga Indonesia di Australia memiliki sikap yang berbeda soal kegiatan mendukung Papua Merdeka di Australia, sebagian bahkan tidak mengkhawatirkannya.

Seperti Diana Pratiwi, warga Melbourne kelahiran Jakarta, yang mengatakan kepada ABC Indonesia bahwa pengibaran bendera Papua menjadi sebuah bentuk kebebasan berekspresi.

"Saya pribadi tidak mendukung Papua Barat merdeka, tapi saya mengerti mengapa mereka ingin merdeka," kata Diana.

Ia mengaku lebih memilih untuk membuka dialog atau menghadiri diskusi-diskusi soal Papua, juga memilah-milah unggahan di sosial media dengan mengecek kebenarannya.

Sementara itu, KJRI Sydney mengaku sudah rutin melakukan "diseminasi informasi" terkait Papua di segala tingkatan, mulai dari antar pemerintahan maupun di kalangan warga.

Informasi yang diberikan adalah soal sejarah Indonesia dan kembali masuknya Papua ke NKRI, serta perkembangan pembangunan di Papua, dengan tujuan melawan "kampanye negatif dari kelompok separatis Papua dan simpatisannya".

Simak berita-berita terhangat lainnya dari Australia disini.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tujuh Warga Australia Tewas Akibat Letusan Gunung di White Island

Berita Terkait