BOCORNYA data pelanggan maupun konsumen sebuah perusahaan diduga berasal dari pihak ketiga yang selama ini bekerja sama dengan perusahaan bersangkutan. Itu salah satu dugaan yang disampaikan Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI).
General Manager (GM) AKKI Steve Marta mengatakan, tidak mungkin bocornya data pelanggan atau konsumen tersebut berasal dari perusahaan bersangkutan. Misalnya, bank. ""Rugi kalau kami yang membocorkan data sendiri,"" ujar Steve. Menurut dia, kebocoran itu diduga terjadi ketika perusahaan atau bank bekerja sama dengan pihak ketiga dalam menjaring konsumen baru.
Menurut dia, tidak sedikit kegiatan marketing sebuah bank melibatkan perusahaan lain. Nah, di sinilah kemungkinan ada oknum dari pihak ketiga yang mencuri data dan kemudian dijual ke telemarketing lain. Dari sini lalu terjadi saling tukar menukar data untuk diprospek sebagai calon konsumen atau nasabah.
Steve mengatakan, bisa jadi data yang didapat para penjual tersebut bermula ketika nasabah diminta mengisi form aplikasi tertentu. Misalnya, pengajuan kartu kredit. Data kemudian di-copy dan disalahgunakan. Tenaga-tenaga marketing seperti itu, menurut Steve, kebanyakan juga berasal dari pihak ketiga yang bekerja sama dengan sebuah bank.
Dari sisi hukum, praktik jual beli database perusahaan yang bersifat rahasia bisa dikatakan tindak pidana. Polisi bisa memproses perkara tersebut dengan syarat ada laporan dari korban. Korban tidak harus perusahaan pemilik database yang telah dibocorkan. Orang yang namanya ada di dalam database itu pun bisa melapor sebagai korban.
"Di database kan ada nama seseorang yang seharusnya dirahasiakan. Kalau sampai jatuh di tangan orang lain dan diperjualbelikan, orang bersangkutan bisa dikatakan korban karena dia telah dirugikan. Privasinya telah dibuka untuk umum,"" papar Kasatreskrim Polrestabes Surabaya AKBP Farman.
Menurut Farman, sebenarnya pihaknya telah mengendus adanya fenomena jual beli database. Sayang, selama ini belum ada perusahaan yang melapor ke polisi. ""Mungkin pihak perusahaan, seperti bank dan lainnya, tidak tahu kalau di database yang diperjualbelikan itu ada data rahasia milik mereka,"" paparnya.
Menurut alumnus Akpol 1996 tersebut, seseorang yang kerahasiaan identitasnya telah dibuka untuk umum bisa sangat mudah mengetahuinya, tidak perlu harus membeli database tersebut. Dia memberi contoh ketika seseorang itu dihubungi oleh telemarketing.
Menurut dia, orang tersebut harus menanyakan dari mana bisa mendapatkan nomor telepon dan data pribadinya. Menurut dia, pihak-pihak yang sengaja memperjualbelikan data rahasia bisa dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. (gun/mas/fat)
General Manager (GM) AKKI Steve Marta mengatakan, tidak mungkin bocornya data pelanggan atau konsumen tersebut berasal dari perusahaan bersangkutan. Misalnya, bank. ""Rugi kalau kami yang membocorkan data sendiri,"" ujar Steve. Menurut dia, kebocoran itu diduga terjadi ketika perusahaan atau bank bekerja sama dengan pihak ketiga dalam menjaring konsumen baru.
Menurut dia, tidak sedikit kegiatan marketing sebuah bank melibatkan perusahaan lain. Nah, di sinilah kemungkinan ada oknum dari pihak ketiga yang mencuri data dan kemudian dijual ke telemarketing lain. Dari sini lalu terjadi saling tukar menukar data untuk diprospek sebagai calon konsumen atau nasabah.
Steve mengatakan, bisa jadi data yang didapat para penjual tersebut bermula ketika nasabah diminta mengisi form aplikasi tertentu. Misalnya, pengajuan kartu kredit. Data kemudian di-copy dan disalahgunakan. Tenaga-tenaga marketing seperti itu, menurut Steve, kebanyakan juga berasal dari pihak ketiga yang bekerja sama dengan sebuah bank.
Dari sisi hukum, praktik jual beli database perusahaan yang bersifat rahasia bisa dikatakan tindak pidana. Polisi bisa memproses perkara tersebut dengan syarat ada laporan dari korban. Korban tidak harus perusahaan pemilik database yang telah dibocorkan. Orang yang namanya ada di dalam database itu pun bisa melapor sebagai korban.
"Di database kan ada nama seseorang yang seharusnya dirahasiakan. Kalau sampai jatuh di tangan orang lain dan diperjualbelikan, orang bersangkutan bisa dikatakan korban karena dia telah dirugikan. Privasinya telah dibuka untuk umum,"" papar Kasatreskrim Polrestabes Surabaya AKBP Farman.
Menurut Farman, sebenarnya pihaknya telah mengendus adanya fenomena jual beli database. Sayang, selama ini belum ada perusahaan yang melapor ke polisi. ""Mungkin pihak perusahaan, seperti bank dan lainnya, tidak tahu kalau di database yang diperjualbelikan itu ada data rahasia milik mereka,"" paparnya.
Menurut alumnus Akpol 1996 tersebut, seseorang yang kerahasiaan identitasnya telah dibuka untuk umum bisa sangat mudah mengetahuinya, tidak perlu harus membeli database tersebut. Dia memberi contoh ketika seseorang itu dihubungi oleh telemarketing.
Menurut dia, orang tersebut harus menanyakan dari mana bisa mendapatkan nomor telepon dan data pribadinya. Menurut dia, pihak-pihak yang sengaja memperjualbelikan data rahasia bisa dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. (gun/mas/fat)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mantan Polisi Jadi Maling Sepmor
Redaktur : Tim Redaksi