Yakin, hingga Kini Rekornya Belum Terpecahkan

Minggu, 13 Oktober 2013 – 05:38 WIB
Prof Ismunandar. Hilmi setiawan /Jawa Pos/JPNN

jpnn.com - Gelar guru besar biasanya untuk dosen-dosen yang sudah berumur. Karena itu, ketika Ismunandar meraih gelar tersebut pada usia 38 tahun di ITB, dia mencatatkan rekor sebagai profesor termuda di kampus Ganesha, Bandung.

M. HILMI SETIAWAN, Bandung

BACA JUGA: Paling Senang Dayung Tartar, Hafal Seluruh Koleksi

Ismunandar mendapat gelar profesor pada 2009. Pengajar di jurusan ilmu kimia, fakultas MIPA, tersebut kala itu menjadi guru besar termuda pertama yang dimiliki ITB.

’’Apakah rekor saya sudah terpecahkan dosen lain, catatan resminya ada di (bagian) akademik. Tetapi, rasanya saya masih termuda,’’ kata Ismunandar saat ditemui Jawa Pos pekan lalu.

BACA JUGA: Tampilkan 200 Motor Unik, Dapat Pujian Builder Asing

Gelar guru besar itu diraih Ismunandar setelah mengikuti rangkaian studi yang berat dan panjang. Misalnya, dia harus melanjutkan program magister di University of  Sydney. ’’Studi saya itu luar biasa karena saya sama sekali tidak pernah lulus program S-2. Saya tidak pernah mengerjakan tesis,’’ ujarnya.

Jadi, waktu itu pihak kampus tanpa meluluskan Ismunandar di program S-2, tapi langsung menarik dia dari program magister ke program S-3 (doktor).

BACA JUGA: Sutarman, Si Anak Petani Menuju Kursi Kapolri

Menurut pria kelahiran Purwodadi, Jawa Tengah, yang besar di Metro, Lampung, itu, sistem pembelajaran di perguruan tinggi Australia saat ini cukup unik. Banyak jalur percepatan atau akselerasi untuk mahasiswa yang memiliki kualitas akademis di atas rata-rata. Ismunandar mendapat keuntungan karena sistem tersebut. Ditambah lagi, dia terbantu oleh rekam jejak mahasiswa ITB yang kuliah di University of  Sydney sebelumnya.

Setelah menuntaskan program magister secara kilat, hanya setahun, Ismunandar langsung fokus menuntaskan jenjang doktornya. Dia banyak menghabiskan waktu di laboratorium untuk meraih gelar S-3. ’’Dari pagi sampai sore saya kuliah dan melakukan penelitian di laboratorium,’’ kata lulusan ITB 1992 itu.

Ismunandar mengatakan tidak pernah merasa bosan setiap hari harus kuliah di laboratorium kimia. Pasalnya, dia ingin cepat menyelesaikan tugas agar bisa segera pulang ke tanah air. Dia membuktikan impiannya itu setelah sukses meraih gelar doktor pada 1998. Ismunandar dikukuhkan sebagai doktor dengan penelitian tentang energi terbarukan.

Saat itu dia meneliti padatan oksida logam yang selama ini umum digunakan sebagai bahan keramik atau semen. Berdasar penelitiannya, oksida logam ternyata menyimpan sejumlah potensi manfaat yang tinggi. Yakni, sebagai bahan fuel cell untuk energi terbarukan.

Menurut Ismunandar, bahan bakar oksida padat (solid oxide fuel cell –SOFC) yang didapat dari oksida logam memiliki banyak keunggulan jika dibandingkan dengan bahan bakar minyak. Selain terbarukan, penggunaan bahan bakar logam ramah lingkungan serta mempunyai tingkat efisiensi yang  cukup tinggi.

Setelah pulang ke tanah air dan mengajar kembali di ITB, Ismunandar terus mengembangkan diri lewat berbagai forum ilmiah. Salah satunya, di perkumpulan menteri-menteri pendidikan ASEAN (SEAMEO). Di organisasi itu Ismunandar didaulat menjadi direktur quality improvement of teacher and education personnel (QITEP) in science.

Misi utama organisasi itu ialah mereformasi pembelajaran di negara-negara ASEAN, khususnya untuk guru-guru ilmu pengetahuan (sains) di jenjang SMP dan SMA. Sebab, menurut Ismunandar, cara mengajar guru-guru bidang sains di seluruh negara anggota ASEAN sama saja. Yakni, berorientasi kepada buku pelajaran.

’’Melalui reformasi pembelajaran sains itu, kita mencoba menyuguhkan model yang berbeda. Siswa dilibatkan secara penuh,’’ katanya.

Dalam sistem pembelajaran baru itu, siswa ikut terlibat, mulai penentuan teori, menguji teori ilmu pengetahuan tertentu, hingga saat menganalisis teori.

Melalui skema itu pembelajaran sains harus membuat siswa menjadi seorang saintis (ilmuwan atau peneliti). Proses tersebut dilakukan untuk pembelajaran teori-teori ilmu pengetahuan dari tingkat yang paling sederhana. Namun, tidak semua teori disajikan kepada siswa mulai awal hingga proses analisis. Sebab, para guru akan terbentur kepada masa studi semester tertentu.

Sistem baru pembelajaran sains itu awalnya mendapat respons kurang positif dari guru. ’’Para guru tidak pede (percaya diri, Red) mengajak siswa ikut meneliti secara langsung. Mereka merasa lebih enak menggunakan teori yang sudah ada di buku,’’ katanya.

Setelah melalui pelatihan berkali-kali, para guru baru mulai bisa menerima. Ismunandar mengatakan, teknik mengajar sains dengan menempatkan siswa sebagai seorang saintis sudah lebih dulu dilakukan di Prancis dan negara-negara maju yang lain. ’’Kita perlu mencontoh mereka.’’

Secara khusus, Ismunandar juga memberikan perhatian kepada pengembangan teknologi mobil listrik di Indonesia yang belakangan ramai menjadi perbincangan. Proyek itu memiliki tantangan cukup besar. Terutama soal produksi masal baterai. Problem baterai yang ideal untuk mobil listrik saat ini belum bisa diatasi.

Dia menandaskan, baterai mobil listrik yang ideal adalah baterai yang harga belinya terjangkau masyarakat luas, mudah diisi, dan hemat penggunaannya. Dari aspek fisik, baterai listrik yang ideal juga tidak memakan tempat luas dan ringan. ’’Bisa saja menggunakan teknologi baterai seperti di handphone. Tetapi, itu harganya mahal sekali,’’ tuturnya. (*/c4/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Gebyok Rumah Komjen Sutarman Bikin Takjub


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler