Yaman

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Minggu, 01 Mei 2022 – 21:32 WIB
Anies Baswedan. Ilustrasi. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Rasisme diperangi di mana-mana di seluruh dunia. Di Indonesia, gejala rasisme semakin meluas tetapi hanya dilihat sebagai hal yang biasa-biasa saja. 

Di Eropa, penonton sepak bola yang menirukan suara monyet untuk menghina pemain berkulit hitam akan dicekal masuk stadion seumur hidup.

BACA JUGA: I AM NOT A VIRUS: Perlawanan 4 Seniman Indonesia terhadap Rasisme di Australia

Di Indonesia, seseorang yang melakukan rasisme di media sosial terlihat tenang-tenang saja dan malah merasa seperti tidak bersalah.

Sebuah video viral menunjukkan seorang pemuda berkaus kuning menyindir baliho Gubernur DKI Anies Baswedan sambil menyebutnya ‘’orang Yaman’’. 

BACA JUGA: Bikin Malu, Netizen Indonesia Lontarkan Kalimat Rasis kepada Wilfried Zaha

Seorang netizen menyebut Tsamara Amany Alatas sebagai orang Yaman yang harus dikembalikan ke negara asalnya seperti proyek ‘’Final Solution’’ yang dilakukan Hitler terhadap Yahudi.

Dua kasus itu akan menggegerkan publik, dan aparat keamanan akan bertindak cepat menangkap pelakunya. Itu akan dilakukan oleh polisi Eropa, tetapi di Indonesia hal itu berlalu begitu saja. 

BACA JUGA: Kami Bukan Keluarga Rasis: Pangeran William Belum Bicara dengan Pangeran Harry

Ada janji-janji untuk menindaklanjuti, tetapi sampai sejauh ini tidak ada tindak dan tidak ada lanjut.

Banyak yang suka beteriak mengeklaim paling Pancasila dan paling mencintai NKRI dan menyebutnya sebagai harga mati. 

Akan tetapi klaim itu kosong, tidak berarti, karena hanya sekadar slogan tanpa mengerti maksudnya, apalagi memahami filosofinya. 

Orang-orang pandir dan tolol itu tidak paham betapa komentar dan tindakan rasis itu merusak sendi utama kemanusiaan yang paling dasar.

Rasisme juga merusak fondasi dasar negara Indonesia, Pancasila.

Sendi utama NKRI adalah Pancasila. Dan “core of the core” Pancasila adalah “Bhineka Tunggal Ika,” keberagaman yang terikat dalam kebersamaan yang satu. 

Dari Merauke sampai ke Banda Aceh berjajar belasan ribu pulau dengan ratusan suku, adat, dan budaya. 

Tidak ada yang bisa menyatukan keberagaman itu kecuali kesamaan cita-cita untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bersama.

Komunitas yang bersatu itu berada dalam angan-angan semua anggotanya yang oleh Ben Anderson disebut sebagai “Imagined Commumity”. 

Atas konsensus bersama para bapak bangsa dibentuklah negara Republik Indonesia yang berdaulat pada 17 Agustus 1945. 

Tidak ada satu suku, ras, atau agama yang boleh mendominasi lainnya. Bung Karno suka menyebut semboyan ala The Three Musketeers “All for One and One for All, semua untuk satu dan satu untuk semua.

Dibanding dengan respons terhadap radikalisme, respons negara terhadap rasisme bisa disebut minim.

Program-program anti-radikalisme disusun dengan strategi yang rapi dengan anggaran yang mencukupi. Semua kekuatan dan lini digerakkan, mulai dari kementerian, kepolisian, dan TNI.

Negara bertindak tegas terhadap organisasi yang dianggap radikal dan langsung memberangusnya. 

Negara sigap mengadang organisasi yang dianggap mengancam eksistensi NKRI dan Pancasila dan dengan sangat cekatan membubarkannya.

Ketika so called radikalisme itu masih berupa ucapan pun sudah dimata-matai dan langsung ditangkap. 

Razia besar-besaran dilakukan secara strategis dan masif. Patroli akan dilakukan bukan hanya secara fisik tetapi juga secara virtual. 

Kekuatan polisi dan TNI dianggap belum cukup, maka sejenis kekuatan milisia pun digerakkan dalam bentuk pam swakarsa untuk memata-matai rakyat.

Itu belum cukup. Meskipun sudah ada milisia yang kemungkinan bisa dipersenjatai, masih ada lagi program untuk memata-matai rakyat yang dilakukan oleh rakyat sendiri. 

Aparat ASN diberi pelatihan dan pemahaman mengenai so called radikalisme dan melaporkannya sesegera mungkin kepada aparat.

Sangat mungkin terjadi anak memata-matai orang tua, dan sebaliknya, orang tua memata-matai anak-anaknya sendiri. 

Sesama saudara saling memata-matai. Sesama teman saling mengintip dan mewaspadai. Yang ada adalah saling curiga karena trust, sikap saling percaya sudah terkikis.

Kepercayaan masyarakat, trust, adalah modal sosial yang sangat penting untuk membangun kesejahteraan bangsa.

Masyarakat yang mempunyai tingkat saling keterpercayaan yang tinggi akan mempunyai modal sosial yang tinggi untuk bisa maju. 

Sebaliknya, masyarakat yang rendah tingkat kepercayaannya akan mempunyai modal sosial yang rendah.

Francis Fukuyama (Trust; The Social Virtues and the Creation of Prosperity, 1995) membagi tipe masyarakat menjadi dua, low trust society (masyarakat kepercayaan rendah) dan high trust society (masyarakat kepercayaan tinggi). 

Tingkat kepercayaan itu akan memengaruhi kualitas demokrasi dan kemajuan ekonomi suatu negara.

Low trust society cenderung tidak demokratis karena rentang kepercayaan kepada orang lain yang terbatas. 

Low trust society tidak percaya kepada orang lain dan lebih percaya kepada keluarga sendiri. Karena itu, merit system tidak bisa berkembang pada masysrakat low trust dan nepotisme akan marak karena lebih percaya kepada keluarga daripada orang lain.

Rasisme akan menjadi penyakit yang menggerogoti dan menghancurkan filosofi NKRI. Sejarah dunia di masa lalu menunjukkan bahwa rasisme membawa malapetaka yang bisa menghancurkan dunia melalui perang terbuka.

Rezim Nazi Jerman di bawah Hitler adalah contoh yang paling nyata. Hitler percaya bahwa ras bangsa Aria adalah ras terbaik dan paling unggul di dunia. 

Karena itu, bangsa Aria harus menjadi penguasa tunggal di Jerman dan ras lain yang inferior harus disingkirkan dan bahkan dihancurkan.

Hitler merumuskan filosofi ini dalam “Mein Kampf” yang kemudian diimplementasikannya menjadi kebijakan ketika menjadi kanselir Jerman pada 1933. 

Yang pertama dilakukan adalah menghancurkan bangsa Yahudi yang dianggap ras inferior, hina dina, yang harus ditumpas.

Rasisme Hitler membawa bencana yang mengerikan. Dia memperkenalkan kebijakan “Final Solution”, keputusan terakhir, yaitu memusnahkan ras Yahudi supaya tidak ada lagi yang tersisa di bumi. 

Sangat sulit memastikan jumlah korban Holocaust oleh Hitler. Ada yang menyebut sampai enam juta, tetapi tentu saja ada juga yang tidak yakin bahwa Holocaust benar-benar telah terjadi. 

Yang jelas, faktanya, jutaan orang telah menjadi korban selama Hitler berkuasa dan selama Perang Dunia Kedua 1943-1945.

Pemusnahan terhadap ras Yahudi oleh Hitler dilakukan dengan berbagai kekejaman yang sulit diterima akal sehat. 

Pembunuhan massal dengan memasukkan puluhan ribu orang ke kamar gas adalah cara pembunuhan yang paling banyak dilakukan. 

Puluhan ribu orang mati kelaparan dan kedinginan di kamp-kamp penahanan. Puluhan ribu orang mati karena euthanasia, disuntik mati dengan zat kimia beracun.

Di zaman modern, rasisme yang membawa dampak kehancuran yang mengerikan terjadi di negara-negara Balkan bekas Yugoslavia pada awal 1990-an. 

Aksi Ethnic Cleansing, pemusnahan etnis, dilakukan oleh ekstremis rasis dari Serbia dan Kroasia terhadap ras muslim Bosnia. 

Slobodan Milosovic dan Radovan Karadzic adalah Hitler-Hitler yang muncul di zaman modern dengan berbekal politik rasis yang kejam.

Sedikitnya, 50 ribu muslim Bosnia menjadi korban kejahatan rasisme. Warga sipil yang tak berdaya menjadi korban pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, dan kelaparan masal.

Ras Kroasia dan Serbia merasa lebih superior dibanding ras muslim Bosnia yang dianggap sebagai ras inferior yang layak dihancurkan. 

Negara Serbia Raya sebagai ganti Yugoslavia akan didirikan dan ras muslim Bosnia harus disingkirkan.

Korban rasialisme yang paling menyedihkan dialami oleh bangsa Palestina yang sampai sekarang masih dijajah oleh Yahudi Israel di negerinya sendiri. 

Inilah ironi dan tragedi rasisme yang paling dahsyat di dunia. Bangsa Yahudi merasa menjadi korban politik rasisme Nazi Jerman yang mengerikan. Namun, ternyata, sekarang bangsa Yahudi melakukan hal yang sama terhadap bangsa Palestina.

Rasialisme masih menjadi problem besar di seluruh dunia, bahkan di Amerika pun rasialisme menjadi api dalam sekam yang setiap saat bisa meledak menjadi kerusuhan masal bersarah. 

Kerusuhan sosial di Amerika sepanjang 2020 sejak kematian George Floyd sampai penyerbuan Capitol Hill oleh massa adalah buah dari rasisme yang masih mencengkeram kuat budaya bangsa Amerika.

Di Indonesia, hal yang sama bisa terjadi. Keruntuhan yang dialami oleh Yugoslavia bisa saja terjadi di Indonesia. Kerusuhan sosial luas seperti di Amerika juga sangat mungkin terjadi kalau kita membiarkan rasisme meluas. 

Aparat kemanan sudah waktunya memberi perhatian yang lebih serius terhadap rasisme. Orang-orang yang mengolok-olok Anies Baswedan dan Tsamara Amany dengan menyebut ‘’orang Yaman’’ harus segera ditindak dan dihukum supaya mereka segera sadar akan kepandiran dan ketololannya. (*)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler