JAKARTA - Anggota Komisi III DPR, Eva Kusuma Sundari mengaku sangat menyesalkan tewasnya Kapolsek Dolok Pardamean, AKP Andar Siahaan, akibat pengeroyokan massa ketika sedang bertugas melakukan penertiban perjudian.
Menurut Eva, peristiwa itu adalah tindakan ironis. "Nasib penegak hukum tidak mendapatkan perlindungan dalam melakukan profesinya. Bagaimana kita bisa minta perlindungan kemananan bagi aktivis HAM misalnya, jika pemberi keamananpun terancam?" ujar dia dalam keterangan pers, Kamis (28/3).
Dikatakan Eva, naiknya tren pengadilan massa merupakan sinyal bahaya bagi kultur hukum Indonesia (culture of law) oleh masyarakat. Masyarakat makin mengabaikan hukum dan melaksanakan street justice. Itu merupakan sisi buruk dari demokrasi Indonesia.
Karena itu Eva mengimbau agar seluruh elemen masyarakat harus intropeksi terhadap perilaku yang merisaukan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sinyalemen pelanggaran HAM juga banyak dilakukan oleh masyarakat, ternyata makin terbukti. Sasarannya bisa siapa saja mulai dari kelompok penganut agama minoritas, pencopet, dan sekarang penegak hukum yakni polisi.
"Polisi harus tegas di penindakan, di tahap pencegahan bagi kelompok-kelompok preman baik bagi pelaku-pelaku bisnis ilegal, kelompok radikal, maupun geng-geng atau mafia terutama ketika aparat sudah pula menjadi korban," terang dia.
Hal itu menurut Eva, dapat dimulai dengan penanganan kasus tewasnya Kapolsek Andar yaitu ditangkapnya para pelaku termasuk yang memprovokasi, yakni yang meneriaki maling, dan semua pelaku peserta penganiayaan.
Tindakan tegas Polri sambung Eva, perlu dilembagakan dalam bentuk penguatan-penguatan pasal di RUU KUHP terhadap provokasi yang bisa memicu konflik di lapangan.
Dia berharap semoga Polri bisa menarik pembelajaran atas menguatnya praktek premanisme yang ekskalasinya mengkhawatirkan. (gil/jpnn)
Menurut Eva, peristiwa itu adalah tindakan ironis. "Nasib penegak hukum tidak mendapatkan perlindungan dalam melakukan profesinya. Bagaimana kita bisa minta perlindungan kemananan bagi aktivis HAM misalnya, jika pemberi keamananpun terancam?" ujar dia dalam keterangan pers, Kamis (28/3).
Dikatakan Eva, naiknya tren pengadilan massa merupakan sinyal bahaya bagi kultur hukum Indonesia (culture of law) oleh masyarakat. Masyarakat makin mengabaikan hukum dan melaksanakan street justice. Itu merupakan sisi buruk dari demokrasi Indonesia.
Karena itu Eva mengimbau agar seluruh elemen masyarakat harus intropeksi terhadap perilaku yang merisaukan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sinyalemen pelanggaran HAM juga banyak dilakukan oleh masyarakat, ternyata makin terbukti. Sasarannya bisa siapa saja mulai dari kelompok penganut agama minoritas, pencopet, dan sekarang penegak hukum yakni polisi.
"Polisi harus tegas di penindakan, di tahap pencegahan bagi kelompok-kelompok preman baik bagi pelaku-pelaku bisnis ilegal, kelompok radikal, maupun geng-geng atau mafia terutama ketika aparat sudah pula menjadi korban," terang dia.
Hal itu menurut Eva, dapat dimulai dengan penanganan kasus tewasnya Kapolsek Andar yaitu ditangkapnya para pelaku termasuk yang memprovokasi, yakni yang meneriaki maling, dan semua pelaku peserta penganiayaan.
Tindakan tegas Polri sambung Eva, perlu dilembagakan dalam bentuk penguatan-penguatan pasal di RUU KUHP terhadap provokasi yang bisa memicu konflik di lapangan.
Dia berharap semoga Polri bisa menarik pembelajaran atas menguatnya praktek premanisme yang ekskalasinya mengkhawatirkan. (gil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mahfud MD Mengaku Sendu
Redaktur : Tim Redaksi