YLKI: Alihkan Dana Pembangunan Ibu Kota Negara Baru untuk Covid-19

Sabtu, 28 Maret 2020 – 15:58 WIB
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi. Foto: dokumen JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, saat ini karantina wilayah sudah menjadi keharusan. Pasalnya, wabah virus corona atau Covid-19 makin masif. Bahkan bukan hanya di Jakarta dan Jabodetabek yang menjadi zona merah tetapi sudah merangsek ke-27 provinsi di Indonesia.

Artinya, persebaran Covid-19 sudah melingkupi skala nasional. Tercatat, data pasien pasitif Covid-19 mencapai 1.045 orang, korban meninggal 87 orang, dan sembuh 46 orang. Jumlah pasien positif diduga kuat jauh lebih banyak, potensi angka dark number yang sangat tinggi.

BACA JUGA: Update Corona di Indonesia, 28 Maret 2020: 1.155 Positif, 102 Meninggal, 59 Orang Sembuh

"Upaya pengendalian yang dilakukan pemerintah sejatinya sudah benar, seperti bekerja di rumah, tetap tinggal di rumah, jaga jarak, jaga kesehatan, sering cuci tangan, dll. Namun faktanya kepatuhan masyarakat terhadap himbauan ini masih lemah," kata Tulus dalam pesan tertulisnya, Sabtu (28/3).

Akibatnya persebaran Covid-19 makin eskalatif. Apalagi kini makin banyak warga kota, khususnya Jabodetabek, yang migrasi alias pulang kampung, dengan alasan di kota sudah tidak ada pekerjaan, tidak ada income.

BACA JUGA: Hati-Hati! Jateng kini Berstatus Tanggap Darurat Bencana Corona

"Banyaknya migrasi ke kampung halaman berpotensi besar untuk menyebarluaskan virus di daerahnya," ujarnya.

Merespon fenomena ini, lanjut Tulus, banyak daerah memberlakukan ODP bagi pemudik, dan diisolasi 14 hari. Bahkan beberapa kota, seperti Kota Tegal, bahkan Papua, melakukan lockdown untuk daerahnya.

BACA JUGA: Kabar Duka: Satu Lagi Pasien Positif Corona Meninggal, Jenis Kelaminnya Perempuan

Menurut Tulus, itu langkah antisipatif yang sangat bagus untuk memutus mata rantai persebaran, agar tak mengokupasi daerahnya.

Oleh karena itu hal yang sangat mendesak adalah pemerintah pusat membebaskan setiap pimpinan daerah untuk melakukan karantina wilayah, lockdown. Apalagi untuk Jakarta dan Bodetabek, karantina wilayah adalah suatu keharusan. Mengingat Jakarta dan Bodetabek adalah zona merah, terutama Kota Jakarta.

"Pemerintah pusat seharusnya membebaskan dan bahkan mendorong agar Jabodetabek segera dikarantina. Jika tidak dikarantina, sebatas imbauan, bukan hanya warga Jakarta dan sekitarnya yang makin banyak terinfeksi, tetapi akan menyebar seluruh Indonesia. Mengingat akan makin banyak warga Jakarta bermigrasi ke daerah, untuk mudik," katanya.

Jika tak dilakukan karantina wilayah (lockdown), maka yang sangat dikhawatirkan adalah:

1. Persebaran Covid-19 akan makin meluas, bukan hanya di Jakarta tapi seluruh Indonesia. Mengingat Jakarta dan Bodetabek adalah epicentrum nasional. Tak cukup hanya himbauan tapi perlu kebijakan yang tegas, dan bahkan perlu sanksi bagi yang melanggarnya;

2. Sistem kesehatan nasional akan semakin kedodoran, karena tak mampu menampung lonjakan pasien. Apalagi sudah banyak tenaga medis bertumbangan karena terinfeksi Covid-19; 7 (tujuh) orang dokter pun wafat karenanya;

3. Sudah banyak kasus pasien Covid-19 meninggal dunia di tengah jalan, bahkan saat di ambulance; ditolak rumah sakit dikarenakan rumah sakit rujukan tak mampu lagi menampung tingginya pasien Covid-19. Bahkan efeknya banyak pasien dan calon pasien non Covid-19 yang terbengkalai dan akhirnya meninggal dunia, karena tenaga medis di rumah sakit energinya terkuras untuk menghandle pasien Covid-19;

4. Keberadaan tenaga medis juga makin tersudutkan manakala ketersediaan APD (Alat Pelindung Diri) makin terbatas. Dan tenaga medis tak mungkin merawat pasien Covid-19 tanpa dilindungi dengan APD yang standar, bukan jas hujan. Jika tenaga medis tertular karena minimnya APD, maka risikonya: bisa menularkan ke pasien lain, menularkan ke keluarganya, dan tidak bisa menolong pasien. Dan akhirnya korban pasien Covid-19 makin tak terbendung, makin eskalatif;

Karantina wilayah (lockdown) memang pilihan sulit dan bahkan pahit. Namun, jika tidak dilakukan lockdown, dampak ekonominya pun akan lebih pahit. Jika pemerintah kesulitan dana untuk melakukan karantina wilayah, maka pemerintah bisa merealokasikan dana pembangunan infrastruktur.

"Setop dulu pembangunan infrastruktur tahun ini. Bahkan wacana untuk pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru pun layak disetop dulu, dan dananya bisa digunakan untuk pengendalian Covid-19," ujarnya.

Jika karantina wilayah dilakukan, negara harus menjamin keberlangsungan ekonomi kelompok rentan, dengan memberikan kompensasi baik secara langsung seperti subsidi (jaring pengaman sosial), dan atau menurunkan/menghapuskan beberapa tarif pelayanan publik, seperti listrik, PDAM, dll. Juga cicilan pada perbankan/lembaga keuangan, pun perlu ditangguhkan.

Tulus menambahkan, karantina wilayah memang bukan instrumen tunggal untuk menghentikan persebaran wabah Covid-19. Masih diperlukan kepatuhan yang tinggi dari masyarakat. Untuk mendorong kepatuhan ini, maka perlu upaya tegas dari aparat penegak hukum (APH).

Guna mengefektifkan kebijakan ini, selain mengefektifkan APH, tak kalah pentingnya adalah melibatkan kalangan masyarakat sipil baik ormas keagamaan, LSM, tokoh masyarakat, bahkan tokoh generasi milenial. Mengingat generasi milenial inilah yang faktanya susah diatur untuk tetap tinggal di rumah dan jaga jarak. Dan akibatnya kelompok ini menjadi media penularan yang efektif untuk keluarga dan kelompok masyarakat.

"Masyarakat perlu kebijakan yang tegas dari pemerintah dalam pengendalian Covid-19. Harus diingat, sudah dua mingguan masyarakat ter- "lockdown", tidak bisa bekerja, dan akibatnya income nihil," ujarnya.

"Akan berapa minggu lagi masyarakat harus disandera seperti ini? Apalagi sejengkal lagi memasuki Ramadan, dan idulfitri. Masyarakat sudah merindukan berpuasa Ramadan dan idulfitri tanpa gangguan Covid-19. Segera wujudkan karantina wilayah untuk menghentikan persebaran Covid-19!," katanya. (esy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler