SETELAH berhasil memenangkan pertempuran laut di Selat Bali, Pasukan M bersama pejuang Bali menggelar upacara bendera pada 18 April 1946. Penting untuk diketahui, inilah upacara menaikkan bendera merah putih pertama di pulau para dewa...
=======
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
=======
Alamanak masih bertanggal 5 April 1946. Dua perahu Madura pasukan M, yang tadi pagi baru saja memenangkan pertempuran laut di Selat Bali, menjelang sore berlabuh di Banyuwangi.
BACA JUGA: Cerita Pertempuran Laut Pertama yang Dilakoni Angkatan Perang Indonesia
Berehat sejenak, malam harinya mereka berangkat lagi ke Bali dengan 10 perahu mayang. Masing-masing perahu membawa kurang lebih 10 orang.
Pasukan M bagian dari Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). Anggotanya kebanyakan pelajar dari Malang yang ikut main dalam pertempuran Surabaya 1945.
BACA JUGA: NAH INI DIA...Sejarah Lahirnya Legenda Sun Go Kong
Pemimpinnya bernama Kapten Markadi, anak muda berusia 18 tahun. Mereka mengemban tugas merebut Bali yang saat itu dikuasai Pasukan Gajah Merah, Belanda.
Pasukan ini melaut jam 11 malam. Cuaca cukup baik. Sebelum fajar 6 April menyingsing, perahu-perahu mayang itu berlabuh di Jembrana, Bali. Ada yang di pantai Penginuman, pantai Klatakan, pantai Malaya dan pantai Candikesuma. Mereka langsung bergerak ke Desa Peh.
BACA JUGA: Lho...Aidit yang Mengusulkan Bung Karno Jadi Presiden Indonesia Pertama?
Peh Manistutu
Bagi Anda yang pernah ke Bali, apalagi orang Bali...dan pernah menempuh jalan darat dari Gilimanuk ke Denpasar, bila jeli Anda akan melihat papan nama besar di sebuah simpang bertuliskan; Peh Manistutu.
Dusun Peh, Desa Manistutu, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Bali terletak di sebelah kiri jalan raya. Alamnya berbukit-bukit. Di sinilah Pasukan M pertamakali bermarkas sesampai di Bali.
Peh agak jauh dari jalan raya. Posisinya di ketinggian. Pasukan M memilih bermarkas di sini, karena lokasinya sukar didatangi musuh. Kalaupun musuh datang menyerbu, kontur alamnya memungkinkan untuk mengadakan gerakan menghindar. Sebaliknya, bila ingin menyerbu, posisi di Peh sangat menguntungkan.
"Dari segi kemiliteran, Peh memang cukup baik dijadikan markas," kata Kepala Dinas Sejarah Mabes TNI AL, Ronny Turangan, kepada JPNN.com.
Selain faktor alam, penduduk Peh menyambut baik kedatangan pasukan dari Jawa ini. Kebanyakan penduduk Peh memang berasal dari Jawa. Sehingga bantuan makanan dan informasi bisa didapat dengan baik.
Sejumlah tokoh masyarakat seperti I Nyoman Rispa (Kepala Desa Mansitutu), I Nengah Dedeh/Pan Senda, I Gede Surem/Sri Empu dari Kaliakah, I Wayan Suma dan Pan Jelun dari Berangbang bergabung pula dengan Pasukan M di Banjar Peh.
Ada pula I Nyoman Suka (Pimpinan S 10), I Dewa Nyoman Teges (ex Wakil Komandan Kompi TKR Negara), I Gusti Putu Dwinda (Pimpinan BPRI Desa Jembrana) dan I Nyoman Nirba (eks Ketua BKR Jembrana).
Mereka orang-orang berpengaruh dan ikut menggerakkan rakyat Bali mendukung kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan Bung Karno dan Bung Hatta.
Konsolidasi langsung dilakukan. Rapat yang dipimpin Kapten Markadi itu memutuskan menyerbu tangsi Belanda di Negara, pada hari Sabtu, 11 April 1946.
Mata-mata
Rentang waktu jelang penyerangan ke Negara, pasukan yang bermarkas di Peh menangkap dua orang mata-mata. Keduanya diringkus karena kedapatan memasang tanda-tanda arah berupa anak panah di setiap pengkolan jalan menuju markas Peh.
Dua mata-mata itu masing-masing bernama I Ketut Nuryana dan Anak Agung Sena. Usianya masih sangat muda. Istilah masa kini; ABG alias anak baru gede.
Mereka diserahkan kepada Kapten Markadi. Sang pimpinan tidak serampangan. Dia tak langsung marah-marah menghardik menghantam tanah.
Kapten Markadi memanggil I Nyoman Suka dan I Nyoman Nirba untuk dimintai pendapat. Setelah berembug, kedua remaja tersebut diserakan sepenuhnya kepada I Nyoman Suka dan I Nyoman Nirba.
Atas berbagai pertimbangan, dua remaja yang kelihatan masih anak-anak dan lugu itu dibebaskan dari hukuman. Para pejuang di Peh menilai, kalaupun memang bersalah, mereka hanya diperalat oleh orang lain yang merupakan kaki tangan Belanda.
Maka kedua remaja itupun diajak bergabung dan masuk pasukan sektor Negara yang dipimpin I Nyoman Suka. Hal itu disetujui Kapten Markadi.
Menyergap Belanda
Serangan malam Minggu, 11 April 1946 untuk merebut kota Negara yang dikuasai Belanda, gagal. Pasukan tempur semalaman suntuk, pasukan balik kanan. Mundur. Lalu ke daerah Candikesuma.
“Saya lihat pasukan dari Jawa itu datang,” kenang Haji Mukmin, tetua masyarakat pesisir Candikusuma, saat riset cerita ini dilakukan, 2012 lalu. Ini wilayah perantauan Bugis.
Saat ditanya usianya, Haji Mukmin yang oleh masyarakat Candikusuma disapa Datuk, tak tahu pasti berapa usianya. Yang pasti saat kedatangan Pasukan M ke kampung itu, dia sudah remaja.
“Dari sini, mereka (Pasukan M) diantar oleh ayah saya ke Sungai Sangyang di Cangkup. Saya ikut mengantar,” kenangnya saat itu.
Jarak dari pesisir pantai Candikusuma ke Cangkup tak begitu jauh. Berjalan kaki kurang lebih 30 menit. Pesisir Candikusuma di sebelah kanan Jalan Raya Gilimanuk arah Denpasar. Cangkup di sebelah kiri jalan.
Berdasarakan pantauan mata langsung awal September 2012 lalu, Cangkup memang teramat rimbun. Wilayah ini dikelilingi pohon-pohon besar. Bahkan sinar matahari tak leluasa menembus dedaunan. Di tengah kerumunan pepohonan itu mengalir Sungai Sanghyang. Airnya dangkal.
Di tepian sungai sebelah sini terhampar rumput hijau. Di seberang sana, tepian sungainya berpasir putih. Di balik airnya yang bening terlihat pasir dan batu-batu kecil. Beberapa batu besar teronggok di sana-sini.
Pemandangan di Sungai Sanghyang serupa negeri-negeri dongeng di sejumlah film kartun. Di tempat inilah Pasukan M berehat dan mengatur lagi siasat perang. Mereka sudah memperhitungkan pihak Belanda akan berlalu-lalang di Jalan Raya Gilimanuk-Denpasar.
Dan, 13 April 1946 pasukan ini menyergap konvoi Belanda di jembatan Persil, dekat Sungai Sanghyang. Meletuslah pertempuran sengit. Truk Belanda yang datang dari arah Negara terguling. Banyak pasukan Belanda tertembak.
"Jumlah musuh banyak, tetapi tentara kita sanggup berjuang dengan gagah berani. Korban NICA 7 orang mati dan luka. Korban kita satu orang mati dan 5 orang yang luka parah ditawan oleh musuh," tulis dokumen laporan bertanggal 19 April 1946 yang diterima Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin di Yogyakarta. Dokumen aslinya tersimpan dengan baik di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
Upacara Bendera
Karena sudah tercium Belanda, markas Peh tidak dipertahankan. 17 April 1946 markas induk pasukan dipindah ke Desa Gelar, masih di kawasan Jembrana.
Ida Bagus Gde Doster, tokoh pemuda Jembarana--kemudian hari menjadi bupati pertama Jembrana--memimpin kawan-kawannya gotong-royong meratakan tanah dan membuat barak pasukan. "Di tengah-tengah dipancang tiang bambu," kenang Doster ketika diwawancarai September 2012 silam.
Esok paginya, 18 April, seluruh pasukan berkumpul di tengah-tengah tiang bambu itu. Mereka menggelar upacara bendera. Dua orang pemuda menaikkan bendera merah putih dan lainnya menyanyikan lagu Indonesia Raya.
"Suasana haru," kenang Doster. Dia meneteskan air mata ketika menceritakan upacara bendera merah putih pertama di pulau Bali itu. Setelah mengusapnya, Pak Doster lanjut berkata, "kami saling berpelukan. Dan usai upacara Kapten Markadi menamai tempat itu Lembah Merdeka." (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PKI, Aktor Di Balik Layar Pemberontakan PETA Blitar?
Redaktur : Tim Redaksi