jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Yunarto Wijaya menilai Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) tengah mengalami krisis identitas di tengah keterbatasan otoritas yang dimiliki.
Hal ini disampaikan direktur eksekutif Charta Politika Indonesia itu saat diskusi Empat Pilar bertajuk 'Meningkatkan Kepercayaan Publik pada MPR sebagai Perekat Kebangsaan' di Media Center MPR/DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (24/7).
BACA JUGA: Respons Kurniasih Mufidayati Terkait Sidang Tahunan MPR RI
Hadir sebagai pembicara di forum itu Wakil Ketua MPR RI Fraksi PKB Jazilul Fawaid, Anggota MPR RI Fraksi Nasdem Saan Mustopa.
Awalnya, Friederich Batari selaku moderator menanyakan apakah konfigurasi sepuluh pimpinan MPR yang ada sekarang mampu menciptakan situasi politik yang kondusif.
BACA JUGA: Masihkah Sidang Tahunan MPR RI Itu Penting dan Efektif?
Terlebih lagi hasil survei Charta Politika terkait tingkat kepercayaan publik pada lembaga ini cukup tinggi yaitu 62 persen, atau berada di posisi kelima setelah TNI, Presiden, Polri dan KPK.
Yunarto menjawab bahwa survei yang bersifat analisis kualitatif tidak bisa menjawab hal itu.
BACA JUGA: Gara-Gara Presiden Jokowi Marah, Yunarto Wijaya dan Fadli Zon jadi Seperti Ini
"Yang lagi saya sebutkan, MPR sekarang kan menghadapi situasi keterbatasan otoritas dan ruang gerak, bahkan harus berani mengatakan, MPR sekarang, sebelum bicara mengalami keterbatasan otoritas tadi, mungkin sedang mengalami krisis identitas kalau bicara di hadapan publik," ucap Yunarto.
Penilaian itu didasarkan pada analisis, berapa besar publik yang mengerti perbedaan MPR sekarang dengan dahulu?
Berapa banyak masyarakat yang mengerti apa perbedaan MPR dengan DPR? Apalagi otoritas yang dimiliki lembaga ini tidak berkaitan langsung dengan kebutuhan dasar masyarakat.
"Sehingga saya harus mengatakan, dalam keterbatasan krisis identitas seperti ini, pimpinan MPR itu punya nilai peran jauh lebih penting dibandingkan bahkan dengan pimpinan DPR. Pimpinan DPR itu langsung menghadapi image yang lebih buruk, identitas yang lebih jelas, kritik yang lebih jelas, karena orang mengerti," tutur Yunarto.
Kondisi itu menurutnya berbeda dengan MPR yang lebih minim kritik.
Para pimpinan lembaga ini juga bisa leluasa bergerak di ruang publik, untuk melakukan berbagai kegiatan sederhana dan positif dengan berbagai kalangan. Mulai orang biasa hingga para selebritas.
"Kalau menjadi pimpinan DPR, makan bubur atau ketemu Raffi Ahmad, serangan akan lebih besar; ngapain saja, kok bukan ngurusin kebijakan pemerintah yang begini, kok bukan marahin menteri kesehatan yang begini dan segala macam," ujar Yunarto.
Sementara pimpinan MPR, katanya, memiliki ruang lebih besar, sekaligus apa yang dilakukan oleh 10 pimpinan yang ada sekarang akan menjadi representasi wajah MPR sebagai lembaga.
"Sepuluh orang ini sebetulnya bisa dimanfaatkan juga secara akumulatif. Satu yang bisa membedakan dengan pimpinan DPR adalah kebersamaan lebih mungkin diwujudkan di pimpinan MPR. Konflik kepentingannya jauh lebih kecil," kata Yunarto.
Di sisi lain, para pimpinan MPR yang diketuai Bambang Soesatyo alias Bamsoet, juga bisa lebih mudah membuat pernyataan yang menyejukkan di ruang publik.
Bahkan, pimpinan lembaga ini bisa punya satu sikap yang sama, karena memang otoritas MPR tidak terlalu terjebak dalam perbedaan sikap fraksi. Inilah menurutnya yang harus ditunjukkan kepada publik.
"Menurut saya itu akan terakumulasi menjadi sebuah kekuatan. Minimal krisis identitas MPR akan terjawab secara positif," tandas Yunarto. (fat/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam