Yusri Yusuf, 18 Tahun Setia Lestarikan Kecapi Maros

Jago Membuat meski Tidak Bisa Memainkan

Minggu, 16 November 2014 – 22:55 WIB
SEMANGAT: Yusri Yusuf (tengah) dan komunitasnya di workshop pembuatan Kecapi Maros. Foto: Gunawan Sutanto/Jawa Pos

jpnn.com - Tidak banyak seniman yang mendedikasikan hidupnya untuk melestarikan tradisi yang kian ditinggalkan. Yusri Yusuf adalah satu di antara sedikit orang itu. Ketika kenyang pengalaman di luar daerah, dia memutuskan untuk pulang kampung guna melestarikan alat musik kecapi yang nyaris punah.

Laporan Gunawan Sutanto, Maros

BACA JUGA: Pecinta Batik yang Peduli Kaum Papa

SEJUMLAH anak muda menghabiskan waktu dengan memahat kayu rita. Sebagian lagi memasang senar, menyempurnakan denting-denting nada. Mereka beraktivitas di bawah rumah panggung di sebuah desa di Maros, Sulawesi Selatan.

Rumah panggung di tengah-tengah tambak itulah yang selama ini menjadi workshop pembuatan kecapi, alat musik khas Sulawesi Selatan yang nyaris punah. Di tangan Yusri Yusuf, alat musik tersebut kini mulai kembali dikenal masyarakat.

BACA JUGA: Pemimpin Dunia Paling Miskin yang Rendah Hati

Dengan nyala semangat yang tidak pernah padam, Yusuf menumbuhkan kecintaan masyarakat Maros terhadap kecapi. Bukan hanya orang tua, dia pun berhasil membentuk komunitas anak muda yang berkesenian dengan kecapi.

Tidak mudah melakukan itu. Sebab, selama bertahun-tahun sebelumnya, kecapi di Sulawesi Selatan memang sudah terkalahkan oleh gitar.

BACA JUGA: Van Dijk Terfasih, Gonzales Kurang di Logat

Selain membawa ke workshop pembuatan kecapi, Yusri mengajak koran ini ke rumahnya di Kampung Pammelakkang Jene’, Kelurahan Allepolea, Kecamatan Lau. Di rumah itu, Yusri gayengbercerita tentang usahanya melestarikan kecapi.

’’Saya dulu sebenarnya orang sastra. Bertahun-tahun saya berkesenian keliling Indonesia, ikut dalam pementasan sejumlah sanggar teater,’’ kenang lulusan Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi) Jogjakarta itu. Aktivitas tersebut dilakoni Yusri pada medio 80-an.

Berbagai pengalaman seni peran pernah dilakoni, namun tidak membawa kepuasan batin bagi Yusri. Pria kelahiran 9 Juli 1960 itu pun lantas memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Dia mencoba peruntungan dengan menjadi pegawai negeri sipil. Masuklah Yusri sebagai pegawai di departemen penerangan.

’’Saat itu saya merasakan kegetiran. Saya melihat di banyak daerah, khususnya di Jawa, kesenian asli begitu dilestarikan, tapi di kampung saya sendiri tidak,’’ ungkapnya. Yusri teringat masa kecilnya ketika para orang tua dengan bangga memainkan kecapi sebagai bagian dari tradisi.

’’Waktu saya kecil, rasanya sering melihat kesenian Maros. Salah satunya ya selalu adanya permainan kecapi,’’ ujarnya. Kecapi itu, menurut dia, dahulu menjadi bagian tak terpisah bagi masyarakat Maros.

Denting-denting senar kecapi mengalun di berbagai sudut. Mulai dimainkan di sawah untuk ungkapan rasa syukur saat panen sampai hajatan warga. Bahkan, tidak jarang para orang tua memainkan kecapi sembari menanamkan budi pekerti kepada anak mereka.

Semangat menggairahkan Yusri makin tumbuh ketika dia menemukan warisan kecapi dari neneknya. Kecapi itu kini telah berusia 70 tahun dan disimpan di Museum Nasional Jakarta. ’’Dari kecapi punya nenek itu, saya coba membuat replikanya. Sebab, saat itu mencari perajin kecapi di Maros sudah sangat langka,’’ jelasnya.

Yusri sempat merasakan kesulitan. Sebab, pengetahuan bapak empat anak itu tentang kecapi sangat minim. Bahkan, hingga kini dia tidak lihai memainkan kecapi. ’’Dulu saya sama sekali tidak bisa main. Kini sedikit-sedikit sudah ngerti fals atau tidak,’’ kelakarnya.

Untuk membuat sebuah kecapi, ketika itu Yusri memerlukan waktu 20 hari. Hampir setiap hari dia meluangkan waktu untuk menyelesaikan proyek idealisnya tersebut. ’’Sempat ada orang kampung yang mencibir saya gila. Tiap hari bergelut dengan kayu, mulai mengukur sampai mengukir. Sebab, membuat kecapi kan butuh ketelitian dan kesabaran,’’ jelasnya.

Kecapi pertama Yusri itu pun akhirnya tuntas. Jerih payah selama 20 hari tersebut hanya terjual Rp 50 ribu. Namun, semangat yang tidak pernah padam membuat dia terus melanjutkan membuat kecapi. Akhirnya upaya itu mendapat dukungan dari sejumlah akademisi di Makassar dan Maros.

Dari situ, Yusri kian bersemangat membuat kecapi. Dia berusaha merangkul anak muda dan sejumlah pekerja mebel untuk terlibat dalam pembuatan secara masal. Dia merangkul tukang mebel karena kebanyakan usaha mereka mulai kalah bersaing dengan produk pabrik yang terbuat dari serat kayu.

’’Mebel seperti itu kan modelnya bagus-bagus dan harganya murah,’’ kata Zainudin, salah seorang tukang mebel binaan Yusri yang ikut menemui koran ini. Usaha Yusri pun mulai menuai hasil. Dia sering diundang untuk ikut pameran. Dari situ, order mulai berdatangan.

Saat ini, Yusri dan kelompoknya mampu membuat kecapi secara masal. Sekali produksi, mereka bisa membuat 100 kecapi. Harga kecapi yang dijual pun bervariasi, mulai Rp 200 ribu sampai Rp 1 juta. ’’Bahkan, ada kecapi yang sampai berhasil terjual Rp 6 juta,’’ ujarnya.

Lantaran rumah dan workshop-nya didatangi banyak mahasiswa seni, Yusri kemudian berhasil membuat komunitas seni kecapi. Belakangan, makin banyak orang yang mengapresiasi semangat Yusri itu. Salah satu yang tampak adalah pemberian space di Bandara Sultan Hasanuddin bagi Yusri dan kelompoknya untuk tempat berkesenian dengan kecapi.

’’Tiap weekend, kami tampil mengisi acara di bandara. Dulu Om Yusri juga sering mengadakan demo pembuatan kecapi di sana,’’ ujar Arman Periawan, Kasi Pengembangan Seni dan Pelestarian Kesenian Tradisional.

Bahkan, atas usaha Yusri dan kawan-kawannya, kecapi kini masuk dalam kurikulum pembelajaran di Maros. ’’Dulu kalaupun ada sekolah yang mengenalkan kecapi hanya sebagai ekstrakurikuler, sekarang sudah masuk kurikulum,’’ jelasnya.

Tahun ini Bupati Maros H M. Hatta Rahman memberikan penghargaan anugerah budaya kepada Yusri yang kini menjadi PNS di Kecamatan Lau itu. Di tengah banyaknya apresiasi tersebut, Yusri hanya ingin pemda ikut aktif melestarikan kecapi.

’’Selama ini, di Makassar dan Maros, barang yang sering digunakan untuk cenderamata bagi tamu malah kupu-kupu yang diawetkan. Lebih bagusnya kan dibuat replika kecapi untuk cenderamata,’’ ungkap Yusri.

Impian Yusri lainnya, dia ingin diundang berpameran dan menjadi pembicara tentang kecapi di luar negeri. ’’Kalau di Indonesia, saya sudah sering diundang, mulai mengenalkan sampai mengajari membuat kecapi dan alat musik tradisional lainnya,’’ ujarnya.

Dia sangat ingin menjadi pembicara di event internasional, meski tanpa honor. (*/c5/sof)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Cerita Guru TK yang Terjebak Jaringan Narkoba Internasional


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler