Yusril: Pemerintah Harus Bersiap Menghadapi Risiko Terburuk Akibat Corona

Rabu, 01 April 2020 – 19:16 WIB
Yusril Ihza Mahendra. Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menyoroti langkah Presiden Joko Widodo melahirkan Keppres Nomor 11/2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, pada Selasa (31/3) kemarin.

Penerbitan Keppres diketahui diikuti dengan diterbitkannya PP Nomor 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

BACA JUGA: Komentari Wacana Darurat Sipil, Yusril Minta Pemerintah Berpikir Jernih

Yusril menilai, pernyataan darurat kesehatan terkesan terlambat ditetapkan oleh pemerintah. Pasalnya, baru diumumkan hampir sebulan setelah Presiden Jokowi mengumumkan ada dua pasien Corona pertama di Indonesia, 2 Maret lalu.

"Dalam sebulan ketika darurat kesehatan diumumkan, jumlah pasien postif Corona telah meningkat drastis dari dua orang menjadi 1.528 orang, dimana yang meninggal 122 orang dan yang sembuh 75 orang," ujar Yusril dalam pesan tertulis yang diterima, Rabu (1/4).

BACA JUGA: Yusril Sebut Pemerintah tak Punya Pilihan Lain: Selamatkan Nyawa Rakyat dari Corona!

Selain terkesan terlambat, Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang (PBB) juga menilai tidak mudah bagi daerah untuk melaksanakan PSBB sebagai upaya menangani pandemi Covid-19.

Meski demikian, Yusril mengakui dengan adanya PP 21/2020, pemerintah daerah dengan persetujuan menteri kesehatan dapat memutuskan daerahnya dapat menerapkan PSBB. Artinya, dengan pemberlakuan PSBB daerah berwenang melakukan pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi atau kabupaten/kota tertentu.

"Tetapi saya kira pelaksanan PSBB tidak mudah bagi suatu darerah. Misalnya, dari daerah mana saja orang dan barang tidak boleh masuk ke suatu daerah? Daerah kan tidak berwenang membuat aturan yang menjangkau daerah lain di luar yurisdiksinya. Apakah untuk effektifitas pembatasan mobilitas orang dan barang itu pemda setempat dapat meminta bantuan polisi atau malah TNI misalnya? Saya kira hal itu tidak diatur dalam PP No 21 Tahun 2020 ini," ucapnya.

Menurut Yusril, UU No 6/2018 tentang Karantina Kesehatan juga tidak memberikan kewenangan kepada polisi untuk mengawasi keluar masuknya orang di suatu daerah yang memberlakukan PSBB. Karena itu, pemda kemungkinan hanya dapat mengerahkan Satpol PP yang berada di bawah pemda.

Polisi baru berwenang melakukan pengawasan keluar masuk orang dari suatu wilayah ke wilayah lain, jika pemerintah pusat memutuskan untuk melaksanakan karantina wilayah sebagaimana diatur Pasal 54 ayat (3) UU No 6 Tahun 2018.

Karantina Wilayah hampir sama dengan lockdown yang dikenal di negara-negara lain seperti Malaysia dan Philipina. Namun, Yusril memperkirakan pemerintah pusat sepertinya memilih tidak menerapkan Karantina Wilayah karena khawatir dengan masalah ekonomi.

Selain itu, mungkin tidak akan mampu menyediakan kebutuhan dasar hidup masyarakat dan hewan ternak yang ada di daerah yang diterapkan Karantina Wilayah. Sementara sebagaimana diatur dalam UU 6//2018, kewajiban menyediakan kebutuhan dasar masyarakat, seperti sembako, listrik dan air bersih di daerah yang dikenakan karantina wilayah, sepenuhnya tanggung jawab pemerintah pusat. Bukan pemerintah daerah.

"Bayangkan jika Jakarta saja dikenakan karantina wilayah, pemerintah pusat harus menyediakan sembako untuk sekitar 14 juta orang entah untuk berapa lama. Bisa-bisa seperti India. Lockdown yang dilakukan tanpa persiapan matang, bisa membuat rakyat kalang-kabut dan akhirnya kelaparan. Di Manila juga sempat terjadi berbagai kejahatan perampokan, karena rakyat miskin kehabisan bahan makanan. Tentara Philipina, pada akhirnya mendrop sembako ke rumah-rumah penduduk miskin kota," katanya.

Yusril juga mengatakan, ketentuan selanjutnya terkait PSBB diatur dalam PP 21/2020. Namun, terkesan poin-poin yang diatur hanya mengulang apa yang sudah ditetapkan dalam UU Nomor 6/2020. Misalnya, PSBB dilaksanakan paling sedikit dalam bentuk peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Artinya, ketiga hal yang dicakup PSBB sudah dilaksanakan oleh daerah baik ada maupun tidak ada PSBB. Namun, apa yang sudah dilaksanakan itu tidak mampu membatasi penyebaran virus Corona. Menjelang akhir Maret, tinggal dua provinsi yang belum ada pasien positif Corona, yakni Bengkulu dan Bangka-Belitung. Namun kemudian dua provinsi itu juga tidak bertahan.

"Nah, hari ini (1/4) nampaknya belum ada keputusan Menteri Kesehatan atau Ketua Gugus Tugas Percepatan Penangangan Corona Virus yang menyetujui permintaan daerah tertentu untuk daerahnya dinyatakan diberlakukan PSBB. Daerah-daerah itu sebagiannya malah sudah bertindak lebih jauh dari apa yang mungkin dapat dilakukan dengan sekadar tiga hal dalam PSBB seperti di atas," tutur Yusril.

Pertanyaannya kini, kata Yusril kemudian, apakah dengan kebijakan PSBB yang harus diminta oleh daerah dan disetujui oleh pemerintah pusat, dapat mengurangi atau menghentikan penyebaran Covid-19?

"Apabila dalam dua minggu atau dalam sebulan ke depan PSBB tidak efektif, apa pemerintah lantas mau mengumumkan negara dalam keadaan bahaya dengan tingkatan darurat sipil sebagaimana diatur dalam Perpu No 23 Tahun 1959? Saya kira ini pun tidak akan menyelesaikan masalah," ucapnya.

Yusril menduga, jika keadaan makin memburuk pemerintah tidak akan punya pilihan lain kecuali menerapkan karantina wilayah, sebuah konsep yang mendekati konsep lockdown yang dikenal di beberapa negara, dengan segala risiko ekonomi, sosial dan politiknya.

"Karena itu, selama masa penerapan PSBB ini, saya sarankan agar pemerintah mulai bersiap-siap menghadapi risiko terburuk kalau akhirnya tidak punya pilihan lain menghadapi wabah virus Corona, kecuali memilih menerapkan karantina wilayah, jika pandemi ini ternyata tidak mampu dihadapi dengan PSBB," pungkas Yusril. (gir/jpnn)


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler