Yusril: Putusan MA Tidak Membatalkan Kemenangan Jokowi-Ma’ruf

Rabu, 08 Juli 2020 – 03:59 WIB
Yusril Ihza Mahendra menyatakan putusan MA tidak membatalkan kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin di Pilpres 2019..Ilustrasi Foto: Ricardo/dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menanggapi tulisan M Rizal Fadillah berjudul 'Skandal Politik Pilpres Usut Tuntas', terkait putusan MA (Mahkamah Agung) Nomor 44 P/HUM/2019.

Menurut Yusril dalam Putusan itu MA hanya menguji secara materil Peraturan KPU Nomor 5/2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum, apakah bertentangan dengan undang-undang yang berada di atasnya.

BACA JUGA: Terkait Putusan MA Soal PKPU, Pakar: Keabsahan Presiden Jokowi Telah Final

"Jadi, putusan itu sama sekali tidak masuk atau menyinggung kasus sudah menang atau belum Joko Widodo dalam Pilpres 2019," ujar Yusril di Jakarta, Selasa (7/7).

Yusril menegaskan, menang tidaknya Jokowi dalam Pilpres 2019 telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Karena hal itu menjadi kewenangan MK.

BACA JUGA: Jika Ada Resuffle, Presiden Jokowi Terapkan Cara Geser dan Gusur

"MA sama sekali tidak berwenang mengadili sengketa pilpres. Putusan MK itu final dan mengikat," ucapnya.

Mantan kuasa hukum pasangan JOkowi-Amin di Pilpres 2019 ini juga menyebut, dalam menetapkan pemenang Pilpres 2019, KPU merujuk putusan MK yang tegas menolak permohonan sengketa pasangan calon presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

BACA JUGA: 440 Ribu PNS Kehilangan Jabatan, yang Lain Tunggu Giliran

"Lagi pula putusan uji materil itu diambil oleh MA 28 Oktober 2019, seminggu setelah Jokowi-Kiai Ma'ruf dilantik oleh MPR," katanya.

Yusril lebih lanjut mengatakan, putusan MA tersebut bersifat prospektif atau berlaku ke depan sejak tanggal diputuskan.

Putusan MA tidak berlaku retroaktif atau surut ke belakang.

Yusril mengakui, aturan pilpres yang hanya diikuti dua pasangan calon memang tidak diatur dalam dalam Pasal 416 UU 7/2017 tentang Pemilu.

Ketentuan Pasal 7 ayat 3 PKPU No 5 Tahun 2019 itu mengaturnya dengan mengacu Putusan MK No 50/PUU-XII/2017 yang menafsirkan ketentuan Pasal 6A UUD 45 dalam hal paslon capres dan cawapres hanya dua pasangan.

Dalam keadaan seperti itu, maka yang berlaku adalah suara terbanyak tanpa perlu diulang lagi untuk memenuhi syarat sebaran kemenangan di provinsi sebagaimana diatur Pasal 6A.

"Patut disadari bahwa Putusan MK dalam perkara pengujian undang-undang mempunyai kekuatan yang setara dengan norma undang-undang itu sendiri, meskipun Putusan MK bukan merupakan suatu bentuk peraturan perundang-undangan," katanya.

Yusril juga mengatakan, MA memutus perkara pengujian PKPU yang diajukan Rachmawati dan kawan-kawan tersebut, merujuk Pasal 416 UU Pemilu yang tidak mengatur hal tersebut. Sehingga menyatakan Pasal 3 ayat 7 PKPU bertentangan dengan UU Pemilu.

"Masalahnya, MA memang tidak dapat menguji apakah PKPU tersebut bertentangan dengan putusan MK atau tidak. Di sini letak problematika hukumnya," tuturnya.

Menurut Yusril, putusan MK itu dilakukan dalam konteks pengujian terhadap norma Pasal 158 UU No 42 Tahun 2008 tentang Pilpres, yang isinya sama dengan norma Pasal 416 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Karena materi pengaturan yang diuji bunyinya sama, maka putusan MK terhadap pengujian Pasal 158 UU No 42 Tahun 2008 itu mutatis mutandis, juga berlaku terhadap norma Pasal 416 UU No 7 Tahun 2007 tentang Pemilu.

"Kalau pasangan calon hanya dua, dan harus diulang-ulang terus agar memenuhi syarat kemenangan menurut sebaran wilayah, maka pilpres menjadi tidak jelas kapan akan berakhir," katanya.

Kondisi tersebut menurut Yursil, tidak memungkinkan mengingat masa jabatan presiden yang ada sudah berakhir dan tidak dapat diperpanjang oleh lembaga manapun termasuk MPR.

"Ini akan berakibat terjadinya kevakuman kekuasaan dan berpotensi menimbulkan kaos di negara ini," katanya.

Karena itu, kalau paslon Pilpres itu hanya dua pasangan, aturan yang benar dilihat dari sudut hukum tata negara, kata Yusril, adalah pilpres dilakukan hanya satu kali putaran dan paslon yang memperoleh suara terbanyak yang menjadi pemenangnya.

Sebelumnya, Rachmawati Soekarnoputri disebut menang melawan KPU di Mahkamah Agung terkait Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019.

Putusan ini diketok oleh ketua majelis Supandi pada 20 Oktober 2019. Namun baru dipublikasi pekan ini.

Terkait keputusan tersebut, M Rizal Fadillah diketahui membuat sebuah tulisan berjudul 'Skandal Politik Pilpres Usut Tuntas'.

Dalam tulisan yang beredar di dunia maya itu, Rizal menyebut status Jokowi-Ma'ruf Amin sebagai presiden/wakil presiden menjadi "batal demi hukum" (nietigheid van rechtswege) atau sekurang-kurangnya "dapat dibatalkan" (vernietigbaar).

Ia mendasarkan pandangannya berdasarkan putusan MA. Bahwa disebutkan 'ketentuan Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU Nomor 5/2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum, bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum'. (gir/jpnn)

Simak! Pengakuan Ketum PROJO Soal Tugas Khusus dari Jokowi di Kabinet


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler