jpnn.com - NUSAKAMBANGAN - Kalapas Cipinang Andika Dwi Prasetyo mengatakan penyakit yang diderita Zulfiqar Ali, terpidana mati asal Pakistan, tergolong lama. Namun secara fisik selama ini tak ada masalah dengan pria bertubuh tambun tersebut.
Hanya saja karena mengeluh sakit itu, Zulfikar kerap meminta keistimewaan selama di Cipinang. Semisalnya meminta diperiksa dokter setiap hari.
BACA JUGA: Tunggu Ditembak di Pulau Eksekusi, Zulfiqar Ali Sudah Kayak Gini
''Padahal hal itu tidak memungkinkan. Kalau lihat dia dari nafsu makan dan gerik-geriknya sih terlihat biasa saja,'' ujarnya, kemarin
Andika menduga penyakit Zulfiqar makin parah karena dipicu stres karena pemindahan lapas. Apalagi pemindahan tersebut dikaitkan dengan isu eksekusi. Sejak 30 April lalu, Zulfiqar memang dipindahkan dari Lapas Cipinang ke Lapas Batu Nusakambangan
BACA JUGA: Woww! Pendaftar Pendamping Desa Tembus Ribuan Orang
Asal-usul penyakit yang diderita Zulfiqar sampai kini masih menjadi polemik. Entah karena bawaan, terjangkit di penjara atau disebabkan karena siksaan.
Amensty International bahkan merilis salah satu penyakit pengusaha tekstile itu terjadi akibat siksaan saat proses penyidikan.''Zulfiqar dipaksa mengakui perbuatannya,'' ujar peneliti dari Amnesty International Papang Hidayat melalui sambungan telepon kemarin.
BACA JUGA: Ini Alasan Akom Mundur dari Pertarungan Caketum Golkar
Papang yang kini berada di London mengatakan temuan Amensty International itu didapat dari laporan The Indonesia Human Right Monitor (Imparsial). Lembaga itu memang sempat melakukan penelitian dan pendampingan pada Zulfiqar sekitar 2009. Tepatnya saat WN Pakistan itu mengajukan kasasi.
Jawa Pos mengkonfirmasi pada Imparsial dan membenarkan hal itu. Pendamping Zulfiqar dari Imparsial Ardimanto mengatakan, saat itu pendampingan dilakukan karena sejumlah LSM menilai ada kejanggalan dalam penanganan perkara.
Salah satunya BAP foto Zulfiqar berbeda dengan aslinya. Ternyata hal itu disebabkan Zulfiqar tak memungkinkan difoto karena wajahnya lebam-lebam akibat pukulan. ''Dia mengaku saat penyidikan kerap dianiaya di bawah meja, diinjak, ditendan dan disiram air,'' cerita Ardimanto
Hakim sempat menemui fakta tersebut namun tak menjadi pertimbangan yang meringankan. Akibat siksaan tersebut Zulfiqar merasa ada gangguan pada ginjalnya. Puncanya, pada 2009 dia mengajukan operasi ginjal.
Versi dia sebelum ditangkap polisi tak pernah ada masalah dengan ginjalnya. Operasi ginjal itu dilakukan sekitar 2009. Saat itu Zulfiqar dipindahkan dari Lapas Batu Nusakambangan ke Lapas Semarang.
Kejanggalan lain ialah selama ini polisi menuding Zulfiqar sebagai bandar besar hanya dari keterangan Gurdip Singh alias Vishal. Sebagaimana diketahui, kasus ini bermula ketika Gurdip tertangkap petugas bandar Soekarno Hatta membawa 3 kantong berisi 300 gram heroin. Barang haram itu hendak diedarkan ke Malang via Bandara Juanda Surabaya.
Saat ditangkap Gurdip mengakui barang itu milik Zulfiqar. Gurdip mengakui demikian karena dia dalam tekanan. Dugaan kepemilikan heroin ke Zulfiqar karena pia inilah yang membelikan tiket Gurdip dari Jakarta ke Surabaya.
''Padahal dalam sidang Zulfiqar, Gurdip sempat membuat pengakuan dalam surat bermateri bahwa pernyataannya menyebut Zulfiqar karena adanya tekanan dari polisi,'' ujar Ardimanto.
Kasus Zulfiqar ini sendiri cukup menarik dan panjang. Proses diplomati pernah dilakukan langsung Presiden Pakistan Asif Ali Yardari saat bertemu Susilo Bambang Yudhoyono. Asif Ali meminta perkara warga negaranya ditinjau ulang. Sebab secara keluarga, Zulfiqar disebut tak punya catatan kriminal.
Versi Zulfiqar dan orang-orang sekitarnya memang seperti itu. Namun fakta dalam berkas dakwaan hingga salinan putusan kasasinya berbeda cerita. Dalam salinan putusan kasasi yang didapat koran ini menyebutkan, Zulfiqar memang bandar kelas kakap.
Narkoba bentuk serbuk itu disebut diperoleh Zulfiqar dari seseorang bernama Pafiz Sondri (belum tertangkap). Dia mendapatkan barang dari Pafiz seberat 250 gram dengan harga Rp 140 ribu per gramnya. Heroin itu lantas dioplos dengan ditambahi 50 gram obat sakit kepala (panadol). Jadilah berat heroin menjadi 300 gram.
Heroin itu hendak dijual ke seseorang asal Malang bernama Wisnu Toni dengan harga Rp 200 ribu per gramnya. Dari praktek itu sebenarnya Zulfiqar hanya akan untung Rp 18 juta. Perhitungannya harga jual (Rp 200 ribu x 300 gram) - harga beli (Rp 140 ribu x 270 gram). Dari Rp 18 juta itu pun Zulfiqar menjanjikan komisi untuk Gurdip sebesar Rp 5.750.000.
Zulfiqar sebenarnya berupaya mencari keringanan hukuman hingga peninjauan kembali (PK). Namun PK-nya ditolak oleh majelis hakim yang diketuai Artidjo Alkostar pada 5 Mei 2014. Dalam memutus PK itu Artidjo dibantu hakim anggota Suhadi dan Sri Murwahyuni.
Sayangnya, kemarin Zulfiqar keberatan menerima tamu. Dia hanya bersedia menerima besukan anak dan seorang kerabatnya. Kedua pria pembesuk itu juga tak mau memberikan keterangan apapun terkait kondisi Zulfiqar menjelang pelakanaan eksekusi.(idr/gun/sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Asoy! Bonus Dua Kali Gaji PNS Segera Cair
Redaktur : Tim Redaksi