JAKARTA - Tindak politik uang dalam Pemilu 2014 dinilai lebih marak, brutal dan dilakukan terang-terangan dibanding 2009. Politik transaksional tidak hanya terjadi antara peserta pemilu dengan pemilih, tetapi juga antara peserta dengan penyelenggara pemilu.
"Kami banyak mendengar dan menerima laporan, politik uang pada pemilu kali ini sangat masif, vulgar dan brutal bahkan ada yang mengatakan paling brutal dan vulgar dibanding pemilu-pemilu sebelumnya," kata Penasehat Pemantau Kemitraan Wahidah Suaib di Gedung Bawaslu, Jakarta, Senin (21/4).
Hasil pemantauan di lapangan, menurut Waidah, politik transksional melibatkan partai, caleg, saksi partai, kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) dan panitia pemungutan suara (PPS). Mereka melakukan praktik haram itu untuk memenangkan caleg atau partai tertentu.
Mantan komisioner Bawaslu itu mengatakan, dari 1.062 orang yang dipantau Kemitraan di daerah, 129 orang melaporkan terjadi pembagian uang atau barang kepada pemilih. Agar memilih partai atau caleg tertentu menjelang hari pemungutan suara, 9 April 2014.
"Di Maluku 31 orang pelapor, di Papua 19 orang pelapor, di Jawa Tengah 56 orang pelapor, Sumatera Utara 19 orang pelapor, dan Nusa Tenggara Barat 4 orang pelapor," ujarnya.
Kemitraan juga menemukan indikasi pembagian uang atau iming-iming uang atau barang ke KPPS dilaporkan oleh 49 orang pemantau Kemitraan. Menurut Wahidah, kasus itu terjadi di Maluku (17 orang pelapor), Papua (12 orang pelapor), Jawa Tengah (14 orang pelapor), Sumatera Utara (3 orang pelapor), NTB (3 orang pelapor).
"Sedangkan pada hari-H pemungutan suara, terdapat 64 orang pemantau kami yang melapor bahwa melihat sendiri praktik politik uang," jelasnya.
Wahidah mengatakan, politik transaksional jelas melanggar asas independensi dan profesionalisme yang harusnya dimiliki penyelenggara. Politik uang sangat memprihatinkan karena dilakukan secara terang-terangan dan parahnya sebagai suatu yang lazim.
"Tak sedikit pemilih dan caleg geram, mengeluh, akan praktik politik yang. Sayang, sedikit yang peduli dan berani terbuka melapor ke pengawas," tegasnya.
Sementara itu, pengamat politik Point Indonesia, Karel Harto Susetyo, mengatakan maraknya politik uang dalam proses pelaksanaan pemilu legislatif menjadi tolak ukur potensi korupsi di badan DPRD/DPR RI. Sebab, kandidat anggota dewan yang menang dari hasil tersebut akan berpikir untuk mengembalikan modalnya saat sudah meraih kursi empuk.
"Politik uang pada masa pemilu mendorong terjadinya korupsi. Sebab, mereka merebut kekuasaan dengan mengesampingkan moralitas politik," papar Karel saat dihubungi INDOPOS, Senin (21/4).
Menurut dia, perlu ada perbaikan dalam proses pemilu, khususnya pembiayaan. Negara harus memberikan jaminan agar proses pesta demokrasi ini bisa berjalan lancar dan melahirkan sosok negarawan. Keberadaan teknologi informasi dalam proses pemilu, kata dia, harus ditingkatkan, bukan lagi sekadar instrumental, namun substansial.
"Saya yakin adanya proses pencoblosan dan perhitungan suara menggunakan IT, pemilu justru cepat dan transparan," ujar Karel.
Menurutnya, tingginya tingkat pelanggaran, khususnya politik uang sebenarnya merupakan kehendak publik untuk menghukum legislatif. "Mereka menilai, ada kegagalan mereka dalam melaksanakan fungsi sebagai pengontrol pemerintah," tandasnya.
Selain itu, kata Karel, pendidikan parpol yang masih minim juga menjadi pemicu para caleg melanggengkan upaya-upaya tersebut. "Ada upaya untuk memelihara pragmatisme. Ditambah otoritas Bawaslu yang masih lemah dalam memberikan hukumanbagi pelaku money politic," tuturnya. (dms)
BACA JUGA: PDIP di Bawah PKB
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hari Ini KPU Jabar Pleno, Polda Siagakan 750 Personel
Redaktur : Tim Redaksi