3 Kader Utama Demokrat: Prabowo Harus Jujur, Benarkah Punya Bukti Menang?
Jika Allah menakdirkan Jokowi memimpin Indonesia lagi, pastilah dia ingin sukses dan turun dari jabatannya secara baik. Kalau urusan “pemilu ini curang” dan “pemilu ini jujur” tidak diselesaikan dengan baik, legitimasi Jokowi pada periode kedua jabatannya sebagai Presiden tentulah tidak kuat. Rasa tidak percaya (mistrust) rakyat akan tinggi dan dukungan rakyat kepadanya juga akan rendah. Kita tidak ingin pemerintahan mendatang tidak bisa bekerja dengan baik.
Pihak penyelenggara pemilu juga harus jujur, utamanya KPU dan Bawaslu. Banyaknya kasus salah hitung suara dalam C1 benarkah karena kekeliruan atau memang disengaja. Kasus-kasus suara yang telah dicoblos oleh petugas atau pihak lain, baik didalam maupun diluar negeri bagaimana penjelasannya, dan yang lebih penting bagaimana kasus-kasus itu diselesaikan? Respons KPU, Bawaslu dan kelak MK dalam menanggapi dan memproses semua aduan secara serius, jujur dan adil juga sangat diperlukan.
Kejujuran pihak-pihak lain juga diperlukan. Misalnya, apakah pihak yang saat ini habis-habisan mendesak Prabowo untuk tidak mengakui hasil pemilu, mendiskualifikasi Jokowi dan bahkan menyerukan revolusi dan “people power” itu benar-benar membela Prabowo, atau sasarannya yang penting pemerintahan Jokowi tumbang. Apapun jalan dan alasannya. Ini tentu dua hal yang berbeda. Satu memang untuk kepentingan Prabowo dan membela Prabowo untuk mendapatkan keadilan, kalau memang dia didzolimi. Sedangkan yang kedua lebih kepada kepentingan mereka, dan bukan kepentingan Prabowo. Banyak kalangan yang tidak rela jika Prabowo menjadi korban sia-sia.
Sementara, pihak-pihak yang mati-matian membentengi Jokowi, benar atau salah, juga harus jujur. Benarkah mereka tidak melakukan penyimpangan dan kesalahan yang mencoreng berlangsungnya pemilu yang jujur dan adil, yang mungkin Jokowi sendiri tidak tahu, karena mereka ingin cari muka dan ingin mendapatkan balas jasa dalam pemerintahan mendatang? Atau mungkin juga mereka punya kepentingan dan agenda yang lain, yang belum tentu sama dengan agenda Jokowi sendiri. Contoh nyata, pada bulan Januari 2019 puluhan baliho yang ada foto SBY & Ani dan ratusan bendera Partai Demokrat dirusak dan dibuang ke parit dan jalanan di Pekanbaru. Diyakini tindakan kriminal yang diduga dilakukan oleh tangan-tangan kekuasaan itu diluar pengetahuan Jokowi. Sebuah sumber mengatakan bahwa Jokowi marah besar dengan ulah pihak tertentu yang “menyerang” dan melecehkan SBY, Presiden RI ke-6, seperti itu.
Demi rakyat, demi masa depan pemilu dan demokrasi kita yang lebih baik, pihak-pihak yang terlibat dan berperan dalam pemilu 2019 ini haruslah jujur. Kalau ini terjadi, lebih dari separuh persoalan yang kita hadapi akan dapat diselesaikan.
Saatnya pula para pemimpin dan elit politik bersikap kesatria.
Bersikap kesatria itu mulia. Termasuk kesatria dalam menerima hasil pemilu. Terutama yang kalah dalam kontestasi ini. Penerimaan hasil pemilu 2019 ini bagi yang kalah, dengan asumsi tidak ada penyimpangan dan kecurangan “maha besar” yang membuat cacatnya pemilu ini secara moral, legal dan politik, akan membulatkan akhir yang baik dari perhelatan demokrasi kita.
2 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 17 Februari 2017, ada peristiwa yang indah dan sekaligus bersejarah. Seorang tokoh muda, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang baru saja mengalami “pukulan keras” karena dalam “quick count” dia dinyatakan kalah telak dalam pemilihan gubernur Jakarta, telah memberi contoh tentang pentingnya sikap kesatria ini. AHY dan para pendukungnya terpukul karena menurut berbagai lembaga survey hingga akhir Desember 2016 masih diunggulkan, dalam kontestasi itu dikalahkan oleh Ahok-Djarot dan Anis-Sandi dalam margin yang besar. Hanya dalam hitungan jam, AHY bisa mengontrol emosi dengan pikirannya, dan kemudian menelpon para pesaingnya yang intinya mengucapkan selamat dan mengakui kekalahannya. Setelah itu secara resmi dia menyampaikan pernyataan kekalahannya di DPP Partai Demokrat Jakarta.
Sebenarnya pihak AHY, termasuk Partai Demokrat sebagai pengusung utamanya, merasakan bahwa dalam pilkada Jakarta tersebut ada tangan-tangan tidak kentara yang bekerja agar AHY kalah. Dia juga dipukul baik dari depan maupun dari belakang, karena dianggap kandidat yang harus dilumpuhkan secara bersama. Memori rakyat masih hidup atas dilakukannya pencidukan yuridis terhadap kubu AHY, termasuk turunnya Antasari untuk merusak suara AHY satu hari sebelum pemungutan suara. Tapi, semua itu tidak menghalang-halangi niatnya untuk tampil secara kesatria mengakui kekalahannya dan mengucapkan selamat kepada para pemenang.