Ada Persoalan Serius dalam Pembayaran BPJS Kesehatan
jpnn.com, JAKARTA - Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengungkapkan sebuah masalah serius terkait pembayaran utang kepada rumah sakit.
Dia menjelaskan bahwa hal ini harus diselesaikan karena menyangkut 1,2 juta pekerja di sektor kesehatan seperti dokter, perawat, bidan, office boy RS, kemudian pabrik obat-obatan, sektor farmasi dan lain-lain.
“Kalau telat membayar akan berpengaruh ke kehidupan sehari-hari. Kalau tidak diselesaikan akan jadi masalah di kemudian hari,” kata Fachmi saat rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (6/11).
Dia mengatakan berdasar rapat terakhir pada 2 September 2019, kalau tidak ada langkah konkret dalam penyelesaian persoalan ini, maka di akhir tahun nanti BPJS Kesehatan akan mengalami defisit Rp 32 triliun. “Ini sudah menjadi isu publik,” tegasnya.
Menurut dia, sebenarnya dalam regulasi ada tiga pilihan untuk mengatasi defisitnya dana jaminan sosial. Pertama, rasionalisasi iuran sesuai hitungan aktuaria. Kedua, rasionalisasi manfaat yang diberikan. Ketiga, suntikan dana tambahan.
Fachmi menegaskan bahwa pemerintah sudah memutuskan memilih opsi pertama yakni rasionalisasi iuran sesuai hitungan aktuaria. Hal itu ditandai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres itu ditandatangani Presiden Joko Widodo pada Kamis 24 Oktober 2019.
Menurut Fachmi, paling tidak dengan adanya rasionalisasi di segmen penerima bantuan iuran (PBI), bisa mengurangi defisit ini. “Paling tidak menurunkan persoalan telat bayar menjadi angka yang lebih rendah. Kami sedng hitung bersama kemenkes,” ungkap Fachmi.
Lebih lanjut Fachmi menuturkan kalau tidak ada upaya fundamental mengatasi persoalan ini, maka pada 2024 BPJS Kesehatan akan mengalami defisit Rp 77 triliun. Menurut Fachmi, pilihan-pilihan menyelesaikan persoalan BPJS Kesehatan itu harus disepakati.