Adinda Lebu Raya Fokus Untuk Pemberdayaan Ekonomi Perempuan
Nilai jual kain tenun ikat mengalami peningkatan signifikan, dan banyak keluarga yang ekonominya terbantu. Salah satu ibu penenun yang merasakan dampak langsung peran Adinda Lebu Raya dalam pemberdayaan perempuan adalah Mama Yosefa, warga dari sebuah desa di pelosok NTT.
“Saya dulu menenun hanya untuk kebutuhan keluarga, tapi sejak Ibu Adinda memberikan arahan dan mengajarkan, tenun saya bisa dijual lebih mahal. Ibu Adinda sangat peduli pada kami,” kata Mama Yosefa.
“Dia tidak hanya memberi pelatihan, tetapi juga memberikan kesempatan untuk kami bisa lebih maju. Saya kagum karena beliau selalu mau mendengar dan turun langsung,” sambung dia.
Tidak hanya dari sisi ekonomi, Adinda juga menyadari pentingnya melestarikan tenun ikat sebagai warisan budaya. Untuk itu, dia memperjuangkan agar tenun ikat menjadi mata kuliah di Universitas Nusa Cendana (Undana), membuka peluang bagi generasi muda untuk mempelajari dan melestarikan tradisi ini.
Tidak hanya dalam lingkup nasional, Adinda juga membawa tenun ikat NTT ke panggung global. Usahanya ini tak hanya mengangkat warisan lokal, tetapi juga memperluas pasar bagi karya para penenun NTT di mata dunia.
Bagi Adinda, tenun bukan hanya ekspresi, tetapi juga alat perubahan yang mampu memberdayakan masyarakat.
Selain berbagai aktivitasnya di bidang sosial, seni, dan politik, Lusia Adinda juga tidak melupakan pentingnya pendidikan. Di tengah kesibukannya sebagai ibu, istri, dan Ketua PKK, dia terus melanjutkan pendidikan hingga berhasil meraih gelar doktor (S3).
Gelar ini menjadi bukti komitmennya terhadap pengembangan diri dan peningkatan kemampuan, yang dia harapkan dapat terus memberi manfaat bagi masyarakat NTT.