Alihkan Ketergantungan Pupuk Bersubsidi
jpnn.com - MEMBANGUN petani dan petambak yang kuat tidak cukup dengan menyediakan pupuk urea bersubsidi saja. Soalnya, carut marut distribusi masih menyisakan peluang pupuk langka dan hilang di pasaran. Dibutuhkan terobosan revolusioner mengalihkan ketergantungan pupuk bersubsidi bagi petani dan petambak ke pupuk organik. Sebuah pola yang tidak mustahil menurut Anggota Komisi IV DPR RI Tamsil Linrung, saat berbincang dengan Yusuf Said di Jakarta belum lam mana letak kesalahan menurut Anda?Ini masalah klasik yang terjadi berulang-ulang. Saya melihat penyelesaian masalah pupuk langka sebenarnya sederhana saja. Kuota pupuk sesuai data statistik kebutuhan petani sebenarnya sudah rasional, bahkan lebih dari cukup. Mengelola lahan tambak itu membutuhkan pupuk 4 kali lipat dibanding pertanian, seperti padi. Nah, ini memang kendala. Misalnya saja lahan di Pangkep, lahan pertanian yang tadinya 21 ribu helktare sekarang tinggal 16 ribu. 5 ribu hektare beralih menjadi lahan tambak. Ini perlu ditertibkan. Selain diawasi oleh departemen pertanian ,departemen kelautan dan perikanan juga harus menyampaikan data-data penggunaan pupuk yang paling valid dan faktual. Pasalnya, tambak sudah termasuk bagian perikanan dan bukan lagi masuk di sektor pertanian.
Selain pengalihan peruntukan, menurut Anda, bagaimana dengan distribusi atau produksi?Banyak celah penyelewengan menurut saya. Di tingkat distribusi bisa jadi karena distributor berpeluang menimbun, senang menunggu harga mahal, dan sengaja mengkondisikan kelangkaan untuk meraup keuntungan besar. Atau monopoli. Bisa di sektor angkutan sehingga semua tergantung keinginan mereka akan mengangkut atau tidak. Ini semua bisa terjadi. Ada juga sinyalemen pupuk dialirkan untuk industri. Karena bersubsidi tentu menggiurkan. Padahal, ini sama sekali tidak dibenarkan. Industri tidak boleh disubsidi. Untuk tambak, yang boleh di subsidi harus tambak rakyat. Tambak yang dimiliki satu orang sudah mencapai ratusan hektar, itu tidak lagi masuk kategori tambak rakyat. Bagaimana mengeliminir potensi penyelewengan itu?Itu tadi, pengawasan dilapangan harus tegas agar tertib, mekanisme juga harus dibenahi secara menyeluruh. Bukan institusi terkait saja, tapi juga melibatkan masyarakat sebagai pengawas langsung. Jika melihat ada daerah yang tidak layak menikmati subsidi, yah harus dilaporkan karena sudah tergolong penyimpangan. Belum lagi jika terjadi penyimpangan lebih dahsyat. Misalnya pupuk dijual ke daerah lain seperti yang terjadi di Sumatera. Karena harganya yang menggiurkan, banyak pupuk yang dijual ke Malaysia. Yang sangat dirugikan tentu petani dan petambak kita. Tanggapan Anda?Tentu saja. Dengan kondisi begini, yang terpenting menurut saya, petani kita harus di dorong mencari pupuk alternatif, diantaranya pupuk organik. Sasarannya, agar tidak semua petani menggantukan diri terhadap pupuk urea bersubsidi itu. Jika petani mengandalkan hasil pertanian saja, dimana satu atau dua kali dalam satu tahun tanpa sumber penghasilan lain, tentu repot. Contohnya Jeneponto, setelah musim panen setelah tiga bulan, sembilan bulan para petani memilih jadi tukang becak di Makassar. Apakah petani dan petambak kita sanggup sementara mereka dipenuhi dengan segala keterbatasan?Harus sanggup. Ada sejumlah proyek percontohan yang sudah berjalan bagus. Contohnya di Deli Serdang. Ada komunitas transmigran sekitar 200 org. Mereka berusaha pupuk organik yang sanggup meningkatkan pendapatan masyarakat disitu. 5 tahun lalu, belum ada yang memiliki kendaraan roda dua sekalipun, tapi sekarang sudah banyak yang punya mobil. Mereka menjual Rp6 ribu perkilo dan bisa menghasilkan sudah jutaan dalam setiap bulan. Kualitasnya juga bagus. Buktinya di tempat lain hasil satu hektar hanya enam ton, mereka bisa menghasilkan sembilan ton. Itukan sudah cuikup bagus. Bahkan saya dengar ada yang lebih besar dan lebih dari 10 ton perhektar. Darimana petani Sulsel harus memulainya?Sekarang ini departemen pertanian membentuk sistem integrasi padi dan ternak (SIPT). Petani tidak hanya menggantukan pendapatannya dari peranian dan tanaman pangan saja, tetapi juga dengan peternakan. Karena diintegrasikan, peternakan dapat diolah menjadi pupuk dari hasil kotoran ternak. Petani tidak tergantung sepenuhnya pada pupuk bersubsidi. Kalau pun ada, volume nya kecil. Pemda seharusnya aktif memfasilitasi kelompok tani studi banding ke daerah-daerah yang pertaniannya maju dengan menggunakan pupuk organik. Untuk memulai di Sulsel, memang dibutuhkan kelompok tani (KT) yang kuat. KT ini harus didrong untuk menjemput pembiayaan–pembiayaan yang saat ini aktif disosialisasikan. Pembiayaan dari pemerintah sudah begitu banyak. Terkait keterbatasan modal?Asal petani dan kelompoknya bisa memanfaatkan, sekarang sudah tersedia banyak bentuk program bantuan. Di pertanian ada program LM3 (Lembaga Mandiri yang Melekat di Masyarakat). Pembiayaan ini diutamakan kepada kelompok yang mengakar di masyarakat seperti pesantren. Ada juga LUEP (Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan), ada PUA (Pengembangan Usaha Agrobisnis Pedesaan), ada PEMP (Penguatan Ekonomi Masyarakat Pesisir), ada KUR (Kredit Usaha Rakyat). Khusus KUR ini, tidak ada agunan. Pinjam Rp5 juta cukup tunjukkan bukti punya usaha. Mau ternak sapi atau bebek, terserah. Ini yang mestinya disosialisasikan. Keterbatasan skill biasa menyebabkan petani kesulitan membangun hubungan dengan lembaga ekonomi khususnya perbankan. Sementara program bantuan itu dominan melalui bank. Bagaimana menurut Anda?Tapi kan ada juga yang tidak harus berhubungan dengan lembaga keuangan. Departemen Pertanian misalnya, membentuk lembaga keuangan mikro sendiri di daerah seperti Primatani. Belum lagi jika kemitaraan yang melibatkan orang-orang berduit digalang. . Tapi, hal ini memang membutuhkan kreatifitas dan kejelian pemerintah. Bagaimana dengan subsidi-subsidi lainnya untuk masyarakat tidak mampu?Secara nasional, angkanya sangat besar. Program pembagian subsidi kalangan tidak mampu totalnya Rp82 trilun, dibagikan dalam berbagai bentuk. Bayangkan jika uang ini dibagikan cash kepada 19,1 juta rakyat miskin. Perorang bisa mendapat Rp5juta rupiah. ini sebenarnya bisa saja dibagikan jika tidak melalui tender. Tapi tidak sesederhana itu masalahnya. Bagaimana dana Rp5juta perkeluarga itu bisa betul–betul diolah menjadi dana produktif yang bisa menggiring masyarakat keluar dari jalur kemiskinan, juga masih tanda tanya. Saya perlu menegaskan, satu hal yang kurang menarik dari pembagian subsidi pemerintah adalah tingginya biaya administrasi. Misalnya, untuk raskin harus punya kartu khusus, Askeskin punya kartu sendiri. Untuk kartu saja, sudah berapa biayanya. Andai diintegrasikan, cukup dengan KTP saja yang menunjukkkan dia keluarga miskin untuk mendapatkan bantuan-bantuan itu.
Okelah, memang akses ke lembaga-pembaga keuangan masih lemah. Tapi yang salah bukan masyarakat sepenuhnya. Harus ada pendampingan. Masyarakat perlu pendamping dibarengi sikap bank jangan kaku. KUR misalnya, tidak perlu agunan. Tapi kadang bank tetap nakal minta agunan dengan alasan safety karena harus melaporkan penggunaan dana tersebut. Lebih jauh soal pupuk organik, bagaimana konsep sebenarnya?Idealnya, di tiap kabupaten ada proyek percontohan, bisa di tingkat kecamatan atau desa. Membangun industri pupuk organik tidak butuh biaya besar kok. Saya pernah mengusulkan daripada mengalokasikan dana belasan triliun untuk subsidi pupuk urea, mari secara bertahap, mengambil Rp3 triliun untuk membuat seribu industri pupuk organik di seluruh Indonesia. Dengan asumsi satu industri dialokasikan Rp300 juta. Dalam waktu enam tahun, seluruh kecamatan Indonesia ada industri pupuk organiknya. Memang ada pertanyaaan, tidak cukup mengandalkan mesin saja. karena membutuhkan bahan baku. Nah, memang diperlukan ada ternak juga agar tersedia bahan baku. Bahan baku lainnya itukan bisa dari batang padi, dan tumbuh-tumbuhan. Langkah ini tentu memerlukan SDM handal. Solusinya?Ini bukan kendala sebenarnya. Bagi saya, sangat aneh jika ada sarjana di pedesaan yang menganggur. Apalagi jika mereka adalah sarjana pertanian, peternakan atau perikanan. Mestinya, dengan kemampuannya, sarjana itu mampu mengajak masyarakat membangun pengembangan kemandirian dengan mengandalkan pembiayaan yang sudah tersedia sebagaimana yang saya sebutkan tadi. Mereka semua itu seharusnya menjadi SDM siap terjun ke lapangan. Saat ini, departemen pertanian mengupayakan setiap desa memiliki satu tenaga pendamping sarjana-sarjana pertanian yang akan bertindak selaku penyuluh pertanian. Sudah jadi undang-undangnya. Nanti, saya belum pasti sampai kapan, akan dipenuhi target 72 ribu sarjana pertanian atau bukan sarjana tapi punya kapabilitas di bidang pertanian, di tiap desa. Mereka akan digaji Rp1,4 juta perbulan. Ini sudah berjalan sejak tahun lalu. Syukur banyak peminatnya. Sisa bagaimana tenaga-tenaga itu harus sanggup menunjukkan dimana dia ditempatkan, terlihat ada hasilnya. Sulsel mencanangkan surplus beras 2 juta ton tahun ini. Menurut Anda, merunut pada kondisi yang ada, apakah target ini cukup rasional?Saya kira motivasi beragam perlu diberikan kepada petani. Bagaimana pemerintah menjamin hasil pertanian mereka akan dihargai pantas. Saat ini, pemerintah sangat aktif memelihara kondusifitas petani. Misalnya, memberikan benih unggul dan bagus. Belum lagi, ditambah perhatian dan respon presiden yang sangat besar. Saya dengar dalam kunjungannya ke Bontang awal pekan ini, presiden akan meminta perhatian holding pupuk untuk memberi perhatian lebih terhadap ketersediaan pupuk.
Saya berkeyakinan, tidak sulit untuk meningkatkan produktifitas kita. Buktinya, kita mengimpor jagung tahun lalu 800 ribu ton, dengan kebijakan pemberian benih unggul dan jaminan harga bagus, tahun ini sebaliknya kita ekspor 800ribu ton. Ini artinya, potensi itu belum digarap maksimal.
Masalah lain bahwa kita memiliki data statistik yang sangat lemah. Padahal, andai semua aparat desa dilatih membuat data statistik faktual yang bisa diperbaharui setiap bulan, akan sangat mudah mengontrol pembagian. Terakhir, Andai tidak menjadi anggota DPR, apa yang paling ingin Anda lakukan?Anducu@jpnn.org)