Alpukat Sigit
Oleh: Dahlan IskanSigit menyadari tanah Desa Taji kering. Tidak ada sumber air. Tidak punya irigasi. Maka dia harus belajar: pohon produktif apa saja yang cocok. Tidak hanya untuk kebun milik desa. Juga untuk ditanam di pekarangan penduduk. Agar warga Taji punya penghasilan lebih baik.
Saya menangkap semangat Sigit yang tinggi untuk mengubah nasib desanya. Saya mendoakannya dalam hati. Lalu mengajaknya cepat-cepat ke tungku sampah ciptaannya.
Tungku itu dibangun di pinggir desa. Di tanah yang konturnya miring drastis. Sigit memanfaatkan kemiringan tanah itu untuk mempermudah aliran sampah.
Sampah ditumpahkan dari truk ke lantai beton yang miring 45 derajat. Sampah itu meluncur ke bawah tanpa harus di buldozer. Lalu dimasukkan ke mulut tungku. Dijejalkan pakai tongkat. Masuklah ke tungku.
Posisi tungkunya lebih rendah lagi. Memanfaatkan tanah miring yang lebih bawah. Saya pun turun. Melihat bagian bawah tungku. Semua sama dengan apa yang sudah saya tulis di Disway pekan lalu (lihat Disway 21 November 2023: Tungku Sigit).
Sayangnya kemarin itu lagi tidak ada setoran sampah. Sampahnya sudah habis dibakar. Tunggu kedatangan sampah baru dari pondok pesantren Temboro.
Tungku itu sudah lima hari mati. Namun, dalamnya masih sangat panas. Kalau hari ini ada sampah datang bisa langsung dimasukkan tungku. Masih bisa langsung terbakar. Panas di dalam tungku masih tinggi.
Tentu tidak semua daerah punya tanah dengan kontur seperti di Taji. Berarti tungkunya harus dibangun di tanah datar. Posisi mulut tungku menjadi sangat tinggi. Sampah harus dinaikkan untuk bisa masuk mulutnya.