Anak Dipaksa Ikut Beragam Kursus, Salahkah?
SERINGKALI orang tua tak sabaran pengin mengetahui bakat anaknya. Akhirnya, si anak "dipaksa" mengikuti kursus ini itu.
Sebaliknya, ada juga orang tua yang gelisah karena anaknya kerap sekali minta kursus ini dan itu. Bagaimana baiknya?
RAIHAN Alif Sanjaya seperti tidak kenal capek. Pulang sekolah, siswa kelas I SD Al Azhar 11 itu langsung menuju beberapa tempat kursus. Mulai kursus vokal, piano, menggambar, hingga robotik. Semua dijalani bocah kelahiran Surabaya, 28 Juni 2008, itu.
”Mau kursus ini-itu, semua Raihan yang minta,” kata Shanty Octavia Utami, 39, sang ibu. Sejak usia tiga tahun, Raihan memang sudah mengikuti kursus menggambar dan mengaji. Tidak berapa lama, bocah tersebut juga meminta tambahan kursus vokal dan piano pada usia empat tahun. Tidak main-main, piala kontes musik berderet di lemari anak laki-laki tersebut.
”Awalnya, saya kasihan juga, lihat dia kursus macam-macam. Tapi, karena dia yang minta, saya kabulkan,” kata Shanty.
Untuk itu, Shanty menyiasatinya dengan mengatur jadwal dan memilih tempat kursus bagi buah hatinya. Tahun lalu Raihan bahkan minta tambahan untuk ikut kursus robotik. Shanty pun memutar kepala mencari tempat kursus yang dapat menjawab keinginan putranya sekaligus bersahabat untuk anak usia dini.
Bukan hanya Raihan, sang adik, Rafie Avicena, 5, juga mulai ikut-ikutan. Usia empat tahun Rafie meminta diikutkan kursus menggambar dan robotik sebagaimana sang kakak. ”Saya sempat bingung cari tempat kursus yang mau menerima anak belajar robot umur empat tahun,” kata Shanty.
Fenomena mengursuskan anak memang mulai menjangkiti para orang tua masa kini. Impian memiliki buah hati yang penuh bakat dan prestasi disambut bertebarannya lembaga kursus, terutama di kota-kota besar. Beragam program dan iming-iming ditawarkan. Lembaga-lembaga kursus pun laris manis.