Anggap DPR Tak Serius Tuntaskan RUU Perlindungan PRT
jpnn.com - JAKARTA - Rancangan undang-undang (RUU) tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) sudah selama sepuluh tahun terakhir ini terkatung-katung di DPR. Padahal, angka kekerasan terhadap PRT terus meningkat, sementara hingga saat ini tidak ada standar upah minimum maupun jaminan kesehatan dan pendidikan bagi para pekerja sektor domestik itu.
Menurut pegiat di Jala PRT Jakarta, Pratiwi, ada dua hal yang menjadi penyebab RUU ini terkatung-katung. “Yang pertama, ketidakprofesionalan legislator. Mayoritas anggota Komisi IX dan Badan Legislasi DPR dua periode sebelumnnya, tidak menempatkan diri mereka sebagai legislator. Tapi majikan yang memekerjakan 5-6 PRT," ujar pegiat Jala PRT Jakarta, Pratiwi, di LBH Jakarta, Minggu (14/12).
Menurut Pratiwi, anggota legislatif terkesan berpikiran jika RUU Perlindungan PRT disahkan maka akan berimbas langsung terhadap mereka. Paling tidak, harus para wakil rakyat itu juga harus mengeluarkan uang lebih banyak guna membayar gaji PRT sesuai upah minimum. Termasuk, memberi tunjangan kesehatan dan wajib libur satu hari dalam seminggu.
Sebab lainnya, kata Pratiwi, RUU itu juga mandek karena ada paradigma kolektif yang melihat PRT bukan pekerjaan yang membutuhkan skill. “Ditambah secara kultur, di Indonesia masih membudaya sistem PRT sebagai relasi keluarga. Jadi belum dianggap pekerja profesional. Ketika ada UU Perlindungan PRT, akan merusak budayayang penuh kekerabatan," katanya.
Pratiwi pun mengingatkan bahwa pandangan itu sangat keliru. Sebab, jasa PRT sangat dibutuhkan banyak kalangan baik dari keluarga yang berpenghasilan luar biasa, hingga kelas buruh. Karena itu PRT harus dihargai sebagai sebuah pekerjaan.
"Karena itu kita mendesak DPR segera memasukkan RUU Perlindungan PRT masuk dalam program legislasi nasional 2015. Rancangannya sudah ada, hasil-hasil kajian dan data pendukungnya juga ada," katanya.(gir/jpnn)