Australia Dinilai Berisiko Tinggi Terkena Serangan Siber
Menurut asisten gubernur Bank Sentral Australia (RBA), Michele Bullock, bisnis dan rumah tangga Australia menghadapi risiko serangan siber yang meningkat, dan ini bisa mengancam stabilitas sistem keuangan.
Dalam Konferensi Pasar Global Bank Commonwealth ke-10 di Sydney, Bullock mengatakan bahwa meski kontraksi tajam dalam pertumbuhan global juga merupakan ancaman, kekhawatiran akan Australia yang rentan terhadap kerugian keuangan, gangguan atau kerusakan reputasi dari pelanggaran berbahaya terhadap sistem informasi perusahaan, juga meningkat.
"Serangan siber menjadi lebih terorganisir dan canggih," katanya.
"Serangan itu bisa terwujud dalam berbagai cara - pencurian data, gangguan sistem, manipulasi data, dan serangan keuangan."
Rumah tangga yang berhutang rentan
Lembaga keuangan tergolong masuk peringkat atas dalam daftar entitas yang berisiko terkena serangan siber, dan mereka sangat sadar akan risikonya.
"Satu ukuran sederhana dari hal ini adalah menghitung penyebutan kata 'siber' dalam laporan tahunan bank-bank besar Australia. Pada tahun 2012, kata itu tidak disebutkan, tetapi pada tahun 2017 ada 30 kali penyebutan," katanya.
Serangan terhadap Bank Bangladesh, misalnya, mengakibatkan kerugian US $ 81 juta (atau setara Rp 810 miliar) tetapi bisa jadi jauh lebih besar.
"Serangan yang berhasil terhadap sebuah lembaga bahkan bisa mengakibatkan kurangnya kepercayaan pada sistem perbankan secara lebih luas, dengan potensi penarikan dana dari lembaga keuangan dan masalah likuiditas untuk sistem keuangan," katanya.