Azis Syamsuddin: Sumpah Pemuda Benteng Ancaman Global
jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin mengenang Prof. Sunario Sastrowardoyo, yang merupakan salah satu penggagas Sumpah Pemuda pada tahun 1928.
Azis mengatakan, Sunario pernah menyebut bahwa nilai persatuan dan kebangsaan Indonesia tidak dilatari oleh faktor kultural, ras, wilayah atau agama tertentu saja. "Namun, justru kompleksitas perbedaan itu diletakkan di atas landasan perasaan senasib sepenanggungan. Perasaan inilah yang mengikat semua jenis perbedaan yang sangat banyak di Indonesia," kenang Azis.
Sayangnya, kata Azis, beberapa tahun terakhir ini, bangsa Indonesia gagap mendefinisikan dinamika politik dalam konteks pilpres. Di mana, banyak pihak mengartikan pilpres tersebut sebagai perjuangan hidup mati mempertahankan eksistensi kelompok.
"Maka tak ayal, kekacauan makna pun terjadi. Jargon-jargon perang justru muncul pada konteks damai, konteks perjanjian dagang dan investasi antarnegara diartikan sebagai aneksasi, dan konteks pemilu diartikan sebagai revolusi," kata Azis.
Akibatnya, nilai persatuan bangsa Indonesia terguncang hebat. Di mana, konteks bergerak liar dan nilai suatu pendapat atau tindakan digantungkan pada keberpihakan politik. Bahkan yang paling mencemaskan dari semuanya, kaidah keilmuan pun dikebiri.
"Pendapat-pendapat dan analisis ilmiah yang berupa kritik atau apresiasi dicurigai memiliki tendensi, dimasukkan dalam konteks politik dan pilpres yang bergerak demikian dinamis," tegas Azis.
Dia menambahkan, saat ini bangsa Indonesia kehilangan gugus makna Sumpah Pemuda. Salah satu contoh, rekonsiliasi yang dilakukan Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto dianggap melanggar kode etik politik.
"Sehingga meski keduanya bersatu dalam satu kerangka kerja sama, langkah politik mereka dipahami sebagai sebuah ambivalensi yang melanggar keadaban politik. Demikian juga ketika para elite politik bersatu dan duduk bersama dalam satu kabinet kerja, tidak sedikit pihak yang kecewa," kata Azis.