Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Bagaimana Jika Penusuk Wiranto Punya Motif Sakit Hati?

Minggu, 13 Oktober 2019 – 22:11 WIB
Bagaimana Jika Penusuk Wiranto Punya Motif Sakit Hati? - JPNN.COM
Anggota kepolisian mengamankan Syahril Alamsyah, terduga penusuk Wiranto. Foto: ANTARA/HO-Polsek Menes/aa. Handout Polsek Menes

jpnn.com, JAKARTA - Komunitas Sarjana Hukum Muslim Indonesia (KSHUMI), menyoroti pernyataan Presiden Jokowi yang menyerukan agar masyarakat bersama-sama memerangi radikalisme dan terorisme, pascainsiden penusukan terhadap Menko Polhukam Wiranto di Pandeglang, Banten, Kamis (10/10).

Ketua Eksekutif Nasional BHP KSHUMI, Chandra Purna Irawan mengatakan, apabila seruan presiden soal memerangi radikalisme dan terorisme dikaitkan dengan pelaku penyerangan terhadap Wiranto, hal itu menurutnya tidak tepat.

"Apakah sudah ada proses pembuktian bahwa pelakunya adalah terpapar radikal? Apa yang dimaksud radikal? Hingga saat ini tidak terdapat defenisi kongkret dan atau unsur-unsur apa saja yang dapat disebut radikal berdasarkan peraturan perundang-undangan?" ucap Chandra, Minggu (13/10).

Sementara itu, lanjutnya, terdapat berita yang menyatakan bahwa pelaku penusukan Menko Polhukam Wiranto, Syaril Alamsyah merupakan korban penggusuran proyek pembangunan Tol Trans Sumatera yang digencarkan Presiden Jokowi.

"Apabila motif yang dilakukan pelaku adalah sakit hati karena rumahnya tergusur, maka pernyataan presiden terkait memerangi radikalisme dapat dinilai tergesa-gesa dan dapat dinilai sedang membangun narasi," tutur Sekjen LBH Pelita Umat ini.

Chandra menyebutkan, pernyataan presiden terkait memerangi radikalisme, dikhawatirkan berpotensi terjadinya stigmatisasi dan persekusi terhadap seseorang yang dinilai berseberangan karena mengkritik kebijakan pemerintah. Misalnya terdapat mahasiswa yang di DO, atau dosen diberhentikan atau dipecat atas tuduhan radikal.

Pihaknya menuturkan bahwa Indonesia adalah negara hukum sehingga perlu terdapat kepastian hukum agar seseorang tidak mudah distigmatisasi dan dipersekusi. "Sehingga seruan memerangi radikalisme yang disampaikan Presiden Jokowi sangat disayangkan karena dapat dinilai sebagai seruan yang tidak memiliki dasar hukum," kata Chandra.

Pendapatnya itu didasarkan pada alasan bahwa hingga saat ini tidak terdapat defenisi konkret dan atau unsur-unsur apa saja yang dapat disebut radikal berdasarkan peraturan perundang-undangan? Dan tidak terdapat peraturan perundang-undangan yang menyatakan bahwa radikal termasuk perbuatan yang dapat dipidana.

Apabila seruan Presiden Jokowi soal memerangi radikalisme dan terorisme dikaitkan dengan pelaku penyerangan terhadap Wiranto, hal itu dinilai tidak tepat.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News