Bamsoet: Haluan Negara Dibutuhkan Agar Tak Terjadi Inkonsistensi Pembangunan
Dari serangkaian diskusi yang dilakukan MPR RI 2009-2014 maupun MPR RI 2014-2019 dengan berbagai kalangan, termasuk di dalamnya para tokoh masyarakat, pakar, dan akademisi, Legislator Dapil VII Jawa Tengah yang meliputi Kabupaten Purbalingga, Banjarnegara, dan Kebumen ini menyampaikan pada umumnya mereka sependapat bahwa diperlukan haluan negara dalam pelaksanaan pembangunan untuk menjaga pembangunan yang berkelanjutan, serta integrasi sistem perencanaan pembangunan nasional dan daerah dalam rangka mencapai cita-cita bernegara.
Dorongan yang sangat kuat di antaranya datang dari Forum Rektor. "Perdebatan barulah muncul ketika pembahasan mulai memasuki bentuk hukum apa yang paling tepat dilekatkan pada model GBHN itu sendiri. Apakah ditetapkan melalui Ketetapan MPR atau Undang-Undang," kata Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menjelaskan, mengatasi perdebatan tersebut, MPR RI melalui Badan Pengkajian MPR RI dan Komisi Kajian Ketatanegaraan terlebih dahulu akan menyusun substansi Pokok-Pokok Haluan Negara. Substansi tersebut harus mampu menggambarkan wajah Indonesia pada tahun 2045, ketika usia kemerdekaan Indonesia genap satu abad; mampu menjawab kebutuhan Indonesia ke depan yang relevan dengan tatanan kehidupan bernegara di era milenial yang sangat dipengaruhi Revolusi Industri 4.0.
"Mampu menggambarkan megatrend dunia yang meliputi kemajuan teknologi, perubahan geopolitik, perubahan geoekonomi, demografi dunia, urbanisasi global, perdagangan internasional, keuangan global, kelas pendapatan menengah, persaingan sumber daya alam, dan perubahan iklim, yang semuanya akan berpengaruh pada pembangunan Indonesia; serta mampu memberikan arahan (direction) pada semua bidang pembangunan untuk menjawab tantangan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau lebih sering dikenal dengan SDGs (Sustainable Development Goals)," jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menambahkan, setelah MPR RI berhasil menyusun substansi dari Pokok-Pokok Haluan Negara, barulah dimusyawarahkan mengenai bentuk hukum apa yang paling pas dilekatkan pada Pokok-Pokok Haluan Negara tersebut, apakah dalam bentuk Ketetapan MPR RI atau cukup Undang-Undang saja. Tanpa adanya substansi, maka perdebatan mengenai gagasan menghadirkan kembali GBHN akan menjadi sia-sia.
"Dengan perkataan lain, bagaimana mungkin kita memperdebatkan baju hukumnya, sementara substansi yang akan diberi baju hukum itu sendiri belum ada," tandas Bamsoet.
Kesimpulannya, Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini menerangkan, jalan menuju perubahan terbatas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 masih panjang dan tidak mudah. Untuk sekadar mengusulkan perubahan pasal-pasal di dalam Undang-Undang Dasar saja memerlukan sekurang kurangnya 1/3 anggota MPR RI atau 237 pengusul. Kuorum rapat untuk membahas usul perubahan harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR RI atau 474 anggota. Dan, usul perubahan harus disetujui oleh lima puluh persen ditambah satu dari seluruh anggota MPR atau 357 anggota.
"Namun, yang jauh lebih penting, perubahan Undang-Undang Dasar bukanlah semata-mata perhitungan matematis sebagaimana diatur di dalam Pasal 37, tetapi memerlukan konsensus politik seluruh kekuatan politik. Tidak boleh ada voting dalam urusan hukum dasar ini. Dan, yang jauh lebih penting adalah seluruh rakyat Indonesia memang membutuhkannya," pungkas Bamsoet. (*/jpnn)