Begini Caranya Menyambut Para Malaikat yang Turun ke Bumi
Untuk menyambut para malaikat yang turun ke bumi, warga menyiapkan sejumlah penyambutan. Guto dinyalakan, tak hanya di depan rumah, juga di sepanjang jalan, lorong, hingga ke areal pemakaman.
”Di zaman dahulu, jelang malam Lailatul Qadar, masyarakat membersihkan diri, lingkungan, rumah dan seisinya. Bahkan setiap rumah menggunakan harum-haruman,” terang Amin.
Di malam yang dalam ajaran Islam dipercaya lebih baik dari seribu bulan itu juga, pintu dan jendela rumah warga dibiarkan terbuka. Sarat makna memang. Sebab dengan begitu, warga ‘mengundang’ para malaikat untuk masuk ke rumah.
Selain itu, uto atau menanam juga bermakna menanam amal dengan membersihkan jiwa agar kelak hasil tanaman tersebut bisa dipetik di akhirat.
”Guto masih mudah ditemui pada tahun 1990-an. Tetapi setelah tahun 2000, tak semua warga melestarikan Guto. Bahkan generasi yang ada saat ini pun mungkin tak tahu apa itu Guto,” kata Amin dengan nada sesal.
Selain memasang Guto, masing-masing warga juga menyiapkan potongan pohon tebu, pisang, dan pohon buah-buahan lainnya di depan rumah mereka. Batangan pohon itu dibuatkan gantungan untuk menggantung ketupat dan beragam jenis makanan lainnya.
”Makanan-makanan tersebut tidak dijual, tapi diberikan kepada orang lain yang menyukainya dengan ikhlas,” ujar Amin.
Apabila seorang warga menyukai makanan yang dipajang tetangganya, ia akan menandai makanan tersebut dengan mengikatkan sapu tangan. Dalam bahasa Tidore, sapu tangan ini disebut songa. Maka makanan tersebut dengan sendirinya menjadi hak milik si pemilik songa.