Belasan Manusia Keji Menjahati Yuyun
Bagi remaja, kehadiran teman sebaya--terlebih yang termasuk dalam kelompok teman dekat--memiliki makna sangat nyata. Perasaan takut dijauhi teman dan, pada saat yang sama, kebutuhan untuk memiliki jatidiri tertentu sebagai simbol eksklusif pertemanan mewarnai tindak-tanduk remaja dalam keseharian mereka. Pengaruh besar tersebut juga berlangsung dalam fenomena remaja yang berperilaku menyimpang dan berperilaku jahat.
Dalam kasus Yuyun, tidak menutup kemungkinan para pelaku yang masih berusia remaja (anak-anak) ikut-ikutan mengonsumsi minuman keras dikarenakan adanya tekanan dari sesama remaja maupun dari para pelaku dewasa yang termasuk dalam lingkaran pertemanan tersebut.
Apabila itu yang terjadi, maka para tersangka berusia remaja (anak-anak) tersebut sesungguhnya merupakan korban. Apalagi karena anak-anak belum memasuki usia kehendak maka satu-satunya asumsi yang bisa ditegakkan dalam kasus ini adalah aksi minum minuman keras hingga mabuk dilakukan para tersangka remaja (anak-anak) karena adanya tekanan atau paksaan dari tersangka-tersangka lain serta tanpa seizin orangtua anak-anak tersebut.
Jadi pelaku anak-anak bisa lepas jeratan hukum?
Saya tidak katakan demikian. Mereka bisa dijerat karena aksi minum minuman keras hingga mabuk, apakah itu dilakukannya karena keinginan sendiri atau paksaan teman-temannya yang lain. Itulah yang membedakan antara tersangka dewasa dan tersangka remaja (anak-anak) dalam kasus Yuyun, kendati mereka terlibat pada seluruh tahapan kejadian yang sama. Sejak awal, yakni pada aksi mabuk-mabukan, para tersangka dewasa sudah berstatus sebagai tersangka pelaku kejahatan. Sedangkan pada tersangka remaja (anak-anak), keterlibatan mereka dalam peristiwa itu bermula dari status mereka selaku korban kejahatan, yaitu sebagai orang yang meminum minuman keras karena di bawah tekanan tersangka lain.
Pelaku yang masih di bawah umur perlu diperlakukan khusus?
Walau secara hukum belum memasuki age of consent, namun terhadap tersangka remaja (anak-anak) itu tetap perlu diperiksa kondisi kesadaran mereka saat melakukan aksi jahat berikutnya. Seandainya mereka juga memerkosa dalam keadaan sadar, maka proses pemidanaan sesuai Undang-Undang Peradilan Anak tetap harus dijalankan. Sebaliknya, ketika kekejian itu mereka tampilkan dalam keadaan mabuk berat, sehingga bahkan secara kognitif mereka sendiri pun benar-benar tidak tahu dan tidak memahami apa yang mereka lakukan -bahkan mungkin tidak dapat mengingat perbuatan mereka-, maka ini kian menggenapkan status mereka selaku individu tanpa age of consent. Tinggal lagi proses rehabilitasi perlu diselenggarakan guna mencegah mereka masuk dalam situasi serupa di waktu lain. (esy/jpnn)