Bensin Sawit
Oleh: Dahlan Iskan”Beliau yang membimbing saya sejak S-1, S-2, sampai S-3,” ujar Melia. ”Tanpa beliau, saya bukan apa-apa,” tambahnyi.
Melia dari keluarga miskin. Ayahnyi, Gunawan, sopir angkutan umum. Kadang jurusan Bandung–Cimahi. Kadang jurusan Bandung–Cirebon. Kendaraan umumnya bukan bus, tapi suburban –tidak ada lagi jenis kendaraan seperti itu sekarang.
Waktu Melia kelas II SMP di Bandung, ayahnyi meninggal. Mendadak. ”Kami tidak tahu karena apa. Kami masih kecil. Tidak mengerti,” ujar Melia.
Sejak itu sang ibu harus menghidupi lima anak –Melia anak pertama. Sang ibu menerima upah jahitan. Melia membantu sang ibu.
Tamat SMP, Melia bisa masuk SMA –meski swasta. Ada SMA yang baru dibuka tiga tahun sebelumnya: SMA Kristen Bina Bakti. Dia angkatan ketiga di SMA itu. ”Saya alumni pertama yang berhasil masuk ITB,” ujar Melia.
Itu karena nilai Melia sangat baik. Matematikanyi selalu dapat angka 10. Untuk kimia kadang 8, kadang 9. Untuk biaya kuliah, Melia merangkap menjadi guru kimia di almamaternyi: Bina Bakti.
Setelah lulus S-1, Melia diperlukan ITB. Dia diberi beasiswa untuk ke S-2 teknik kimia: agar bisa jadi dosen di ITB. Lalu, dapat beasiswa lagi untuk S-3. Juga di ITB. Disertasi doktor Melia berjudul: Konversi Normal Butanol Menjadi Isobutilen –kita perlu kuliah 7 tahun di ITB untuk mengerti maksudnya.
Melia berdarah campuran. Ayahnyi sopir suburban tadi, Tionghoa bermarga Go –dalam bahasa Mandarin disebut marga Wu. Ibunyi Sunda asgar –asli Garut. Mereka bertemu di Bandung.