Beragama tanpa Berpolitik, Tak Mulus Masuk Surga
jpnn.com - JAKARTA - Wakil Ketua Umum PBNU KH As’ad Said Ali mengatakan dalam mengawal NKRI dibutuhkan lima komponen penting bangsa yaitu kiai dan ulama, intelektual, pengusaha, TNI/Polri, serta politisi.
Jadi kata As’ad Said Ali, kalau beragama tidak didukung dengan perjuangan politik, maka tak bisa menuju surga dengan baik. Karena itu, ujarya, politik dan agama itu satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
"Jadi antara NU, Pancasila dan NKRI merupakan harga mati. Salah satu diantaranya tercederai, maka semua bisa hancur. Karena itu, politisi NU harus memperjuangkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) NU yang diwariskan oleh para ulama," kata KH As’ad Said Ali, di sela-sela deklarasi Forum Silaturrahim Politisi Nahdlatul Ulama (ForsiNU), di gedung PBNU, Jakarta, Rabu (4/12).
Untuk mencapai tujuan tersebut lanjutnya, politisi NU dibebaskan memilih partai politik sebagai alat perjuangan. Yang penting dalam jiwanya tetap NU dan dalam berpolitik jangan menggunakan kekuatan uang sebagai modal, melainkan dengan hati nurani.
Di tempat yang sama, kader Nahdlatul Ulama (NU) Hajjah Lily Khotijah Wahid yang kini bergabung dengan Partai Hanura membacakan naskah deklarasi ForsiNU "Dari NU untuk Indonesia".
"Para politisi NU merapatkan barisan di ForsiNU. ForsiNU diharapkan mampu memperjuangkan ideologi, visi, dan misi NU dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara khususnya melalui politisi yang ada di semua partai. Baik Nasdem, PKB, PKS, PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PPP, Hanura, PBB, dan PKPI. Karena pemutlakan satu alat perjuangan politik tidak dibenarkan," kata Lily Khotijah Wahid.
NU lanjutnya, tidak pernah lelah dalam mecintai dan mempertahankan NKRI sebelum merdeka sampai sekarang ini, dan tak lagi berada dalam satu wadah perjuangan politik, sebagaimana komitmen Khittah NU 1926. Dimana NU kembali sebagai jam’iyyah diniyah ijtima’iyah dan berjarak dengan partai politik mana pun, dan NU keluar dengan slogan "Tidak kemana-mana, tapi ada di mana-mana".
Watak politik NU yang heterogen ujar Lily Khotijah Wahid, terus berlanjut dan membentuk karakter politik NU yang tidak pernah monolitik.