Berdiri Memohon sebagai Perlambang Kehilangan Hal Besar dalam Hidup
Galeri alam miliknya nanti hanya diisi patung berbentuk manusia, laki-laki dan perempuan. ”Mewakili warga korban lumpur kan?” ujarnya dibarengi seulas senyum.
Menurut Dadang, ide itu tercetus pada 2008, saat dirinya menyaksikan aksi 400 warga korban Lapindo di Istana Merdeka, Jakarta. Meski dia bukan salah seorang korban, lelaki kelahiran Tegal, 12 Mei 1957, itu merasa iba.
Tragedi tersebut sudah terjadi delapan tahun lalu. Tapi, masih ada masyarakat yang belum dapat ganti rugi atas tenggelamnya rumah mereka berikut harta bendanya.
”Sepertinya tidak hanya rumah yang tenggelam. Mata pencaharian warga mungkin juga ikut tenggelam. Sawah atau kandang, misalnya,” kata Dadang di sela mengecek patung-patung yang dicetaknya pagi tadi.
Sebenarnya bukan kali pertama dia memamerkan karya seni berbau manusia dan lumpur. Itu pernah dia lakukan pada 2006. Yakni, pameran seni rupa 1001 Manusia Tanah di Ancol, Jakarta.
Bagi seorang seniman, membuat patung yang kemudian dijadikan isi galeri alam hanyalah satu bentuk bagian seni. Tapi, dia berharap lebih dari itu.
Tujuannya, ingin membantu warga sekitar untuk membuat lautan lumpur menjadi menarik. Tidak peduli berapa rupiah yang harus dikeluarkan untuk itu. Hitung saja, harga produksi per patung, kata Dadang, adalah Rp 300 ribu.
Namun, sebagai seniman, pertimbangannya bukan semata nominal yang dikeluarkan. Justru kepuasan batin itulah yang tak ternilai. Lebih dari itu, hasil karyanya juga bisa bermanfaat bagi banyak orang.