Berharap Tuah Dewa-Dewa di Pulau Dewata
Gita Wiryawan yang memimpin Konferensi Tingkat Menteri itu menyebut Bali memang beda dengan Geneva. Dari Bali ini, bisa dilihat Indonesia yang tumbuh rata-rata 6% per tahun. Baik dari investasi asing, konsumsi domestik, maupun eksport. Dua belas tahun itu bukan waktu yang pendek, dan bukan persoalan yang sederhana. “Kami optimis, dengan semangat persahabatan, langkah besar di Bali ini bisa mengaktualisasi Agenda Doha secara signifikan,” ucap Gita.
Optimisme Gita itu bukan tidak beralasan. Seluruh pemimpin WTO di Geneva sudah bekerja siang malam sampai pagi untuk melakukan kajian dan nagosiasi. Karena itu, Paket Bali ini harus sukses, sebagai “stepping stone” dengan menargetkan “small but credible package of deliverables” untuk mengatasi kebuntuan Perundingan Putaran Doha sesuai mandat KTM-8.
Dia memfokuskan pada paket yang seimbang: Trade Facilitation, beberapa elemen dari perundingan Pertanian, dan issues Pembangunan, termasuk kepentingan LDCs (Negara berkembang dan miskin). “Negara-negara maju juga ingin melihat Paket Bali ini berhasul dan menemukan kata sepakat dalam pola perdagangan global,” ungkap Gita yang juga Ketua PB PBSI yang gemar bermain basket ini.
Memang, setelah pembukaan dan konferensi sesi awal selesai di luar BNDCC ada sekitar 20-an aktivis yang berunjuk rasa. Mereka meneriakkan “Rest in Peace WTO” penolakan atas Konferensi Tingkat Menteri di Bali itu. Mereka membawa poster kertas tulisan tangan seperti
“WTO Kills Farmers! No Negotiation in Bali! Remove WTO Options to Food Security” dan lainnya. Demo yang hanya 15 menit itu cukup mengundang perhatian peserta konferensi, karena persis berada di dalam lobi, dan langsung terlihat dan terdengar teriakannya. (*)