Bermula dari Dahlan, agar Cangkok Hati Lebih Terjangkau
Kamis, 28 Januari 2010 – 06:58 WIB
Tingginya biaya inilah yang menjadi concern Dahlan ketika itu. Belum lagi soal kendala bahasa, bagi mereka yang tidak bisa berbahasa Mandarin. Pimpinan lebih dari 100 surat kabar itu tidak punya kendala komunikasi selama di Tiongkok karena bahasa Mandarinnya sangat baik dan fasih.Dua hal itulah yang lantas membuatnya merasa perlu untuk mendorong adanya program transplantasi liver di Surabaya. "Kalau transplantasinya di Surabaya, biayanya bisa lebih murah sehingga lebih banyak penderita bisa diselamatkan. Selain itu, tak perlu ada kendala bahasa," kata Dahlan saat itu.
Untuk membantu mewujudkan keinginan itu, Dahlan berjanji mendatangkan ketua tim dokter yang mengoperasinya dan menyerahkan semua keuntungan dari penjualan buku Ganti Hati-nya.Ide dan niat baik Dahlan itu langsung disambut para dokter, terutama ahli bedah digestif (perut) RSUD dr Soetomo Surabaya. Selain karena kebutuhan transplantasi liver itu meningkat, juga sebagian dari mereka sudah mempelajari bidang tersebut ketika belajar di luar negeri. Misalnya, dr Poerwadi SpB, SpBA yang ahli bedah anak dan dr Sjamsul Arief SpA(K) MARS yang ahli penyakit liver anak. Poerwadi belajar transplantasi hati di Groningen, Belanda, sedangkan Sjamsul di Jepang.
Bagi RSUD dr Soetomo Surabaya, transplantasi organ bukan sesuatu yang baru. Jauh sebelum Dahlan ditransplan, mereka sudah banyak melakukan transplantasi kornea, jaringan (tulang dan kulit), dan bahkan ginjal. Namun, untuk liver, terpikir pun belum. Ada banyak kendala teknis dan nonteknis yang tak mudah diatasi ketika itu. Mulai pengetahuan yang masih minim tentang transplantasi liver sampai ke masalah donor.