Bertambahnya Beban Orang Tua Murid
Oleh; Sukemi*jpnn.com - MENDIKBUD Anies Baswedan memutuskan untuk menghentikan implementasi Kurikulum 2013 (K-13) secara menyeluruh di sekolah. Implementasi hanya dilakukan pada enam ribuan sekolah. Itu pun, sekolah yang merasa keberatan boleh kembali ke Kurikulum 2006 (KTSP).
Keputusan tersebut bagi sebagian orang terasa mengejutkan. Demikian halnya dengan para pengelola sekolah. Sebab, di lapangan tim monitoring evaluasi masih bekerja sehingga aneh terdengar jika evaluasi saja belum tuntas, tapi keputusan penghentian implementasi K-13 untuk seluruh sekolah sudah diputuskan.
Wajarlah jika berkembang anggapan di publik, bahwa keputusan itu lebih mempertimbangkan aspek ”asal beda” terhadap pemerintahan sebelumnya yang menelurkan Kurikulum 2013. Aspek politis lebih dominan daripada aspek psikologis-pedagogik yang akan diterima peserta didik, pengelola sekolah, dan para guru.
Padahal, diketahui, pendidikan semestinya bebas dari kepentingan politik. Apa jadinya jika kebijakan pendidikan lebih didasarkan pada kepentingan politik ketimbang pertimbangan psikologis-pedagogik.
Tulisan berikut ingin menyampaikan beberapa akibat dan beban yang diterima masyarakat, termasuk pelajar, karena dihentikannya implementasi K-13 pada Januari 2015.
Beban Orang Tua
K-13 yang mulai diterapkan secara menyeluruh pada awal tahun pelajaran 2014–2015 sesungguhnya telah menjawab keresahan orang tua yang merasakan tingginya harga buku dan beratnya beban siswa. Sebab, banyak sekali buku mata pelajaran yang harus dibawa tiap hari ke sekolah –di jenjang SD. Belum lagi lembar kerja siswa (LKS) yang harus dibeli siswa karena buku teks tidak menyiapkan LKS.
Di jenjang SD, buku siswa tematik terpadu telah didesain sedemikian rupa sehingga dalam buka siswa tematik terpadu itu sekaligus menjadi LKS. Siswa pun tidak terlalu membawa banyak buku karena dalam satu tema terdapat beberapa materi pelajaran. Mulai matematika, bahasa Indonesia, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, hingga pendidikan karakter.