Biaya Rp 3 Juta, Tak Kalah dengan Yang Rp 300 Juta
Pengamatan ekologi memang bisa dilakukan lewat citra satelit seperti halnya Google Maps. Namun, cara itu dinilai masih kurang akurat dan efisien. Maka, tercetuslah gagasan untuk menggunakan pesawat tanpa awak yang dikendalikan dengan remote control.
Salah satu kelemahan pemantauan lewat citra satelit adalah kurang bisa merekam objek dengan detail. Apalagi, beberapa pencitraan satelit masih sering terganggu awan. ”Kalau drone kan terbang di bawah awan, jadi bisa merekam lebih detail. Yang pasti biayanya jauh lebih murah,” jelasnya.
Alumnus Teknik Sipil ITB itu sempat bertemu temannya sealmamater yang bergerak dalam bisnis drone. Dia meminta bantuan agar dibuatkan drone dengan ”harga teman”. Namun, setelah dihitung, biaya pembuatan drone tersebut tetap tak terjangkau Swandiri Institute.
Teman Radja itu biasa menjual drone untuk perusahaan perkebunan di kisaran harga Rp 1,5 miliar. ”Harga teman yang disodorkan ternyata masih tinggi, sekitar Rp 300 juta. Jelas kami tidak mampu,” ujarnya.
”Lantaran mentok, akhirnya kami berinisiatif membuat sendiri drone yang diinginkan,” terang peraih gelar magister dari Universitas Paris 1 Pantheon-Sorbonne, Prancis, itu.
Mereka lantas belajar secara otodidak lewat buku-buku dan internet. Salah satunya dari YouTube dan aktif diskusi dalam forum Do It Your (DIY) Drone. Radja mengaku diuntungkan banyaknya perangkat drone yang open source.
Dengan begitu, dia bisa leluasa melakukan modifikasi untuk menghasilkan drone yang murah, namun dengan kualitas tak kalah dengan yang berharga ratusan juta. ”Dari forum itu saya juga bisa mendapatkan komponen-komponen dari Tiongkok dengan kualitas bagus,” terangnya.
Radja berhasil membuat drone pertama saat pulang ke Jerman. Di negara itu dia sekaligus melakukan uji coba lapangan. ”Ketika itu musim salju. Saya harus berjam-jam di luar rumah untuk mencoba drone,” kisahnya.