BPOLBF Kantongi Sertifikat HPL Lahan Otorita
jpnn.com, LABUAN BAJO - Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Raja Juli Antoni menyerahkan Sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Lahan Otorita seluas 129,609 Ha kepada Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) pada Jumat (15/9).
Secara simbolis, sertifikat ini Wamen ATR/BPN serahkan kepada Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Angela Tanoesoedibjo, yang kemudian diserahkan kepada Direktur Utama BPOLBF.
Kawasan Pariwisata Terpadu BPOLBF akan dikembangkan di atas lahan otorita juga merupakan salah satu PSN (Proyek Strategis Nasional) dan diharapkan mampu mengikuti jejak PSN-PSN yang telah rampung di destinasi pariwisata lainnya sehingga bisa membuka dan menyerap tenaga kerja.
Raja Juli Antoni menjelaskan, dalam nomenklatur perundang-undangan baik di undang-undang agraria maupun turunannya, HPL didefinisikan sebagai Barang Milik Negara yang pengelolaannya diberikan kuasa kepada yang diberi hak, yang dalam konteks ini kuasa penuh pengelolaan lahan diberikan kepada BPOLBF untuk dapat dimanfaatkan secara maksimal sesuai dengan peruntukannya.
“Salah satu masalah terbesar yang dihadapi investor untuk berinvestasi di Indonesia adalah kepastian hukum. Kita menghadapi banyak masalah dengan kepastian hukum, sehingga sulit bagi para investor untuk memprediksi rugi laba dalam jangka waktu tertentu. Inilah tugas utama yang diberikan Presiden kepada kami di KementerianATR/BPN untuk memberikan kepastian hukum kepada para investor yang datang untuk kemudian dengan senang hati dan nyaman dapat berinvestasi di nusantara," kata Raja.
Dalam laporannya, Dirut BPOLBF, Shana Fatina menyampaikan momentum serah terima Sertifikat HPL Lahan Otorita BPOLBF merupakan hasil dari proses yang panjang dengan bantuan berbagai pihak.
“Berdasarkan Perpres Nomor 32 tahun 2018, kami diamanahkan untuk mengelola lahan seluas 400 Ha yang mulanya berupa Kawasan Hutan Produksi Tetap Nggorang Bowosie RTK 108. Oleh karena merupakan kawasan hutan, kami memulai koordinasi dengan KemenLHK di tahun 2019 untuk memproses legalisasi lahan kami yang dari 400 Ha tersebut atas arahan Ditjen PKTL KLHK kemudian dibagi menjadi 2 yakni 136 Ha dengan Tukar Menukar Kawasan Hutan (TMKH) dan 264 Ha dengan Izin Usaha Pemanfaatan Jasa/Lingkungan Wisata Alam (IUPJWA)” jelas Shana.
Dalam proses legaliasi, pihaknya harus berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk proses TMKH sebelum memperoses sertifikat di di KemenATR/BPN.