Bung Hatta, Buku, dan Anak Muda Kekiniaan
jpnn.com, JAKARTA - Sejarawan muda, Bonnie Triyana menilai Wakil Presiden Pertama RI M Hatta sangat mencintai buku dibanding seluruh aspek kehidupannya.
Bahkan, Bung Hatta pernah mengucapkan rela dipenjara demi buku.
Hal itu disampaikan Bonnie dalam rangkaian Talk Show “Pekan Bung Hatta” yang diinisiasi oleh Badan Kebudayaan Nasional Pusat PDI Perjuangan, Jumat (13/8).
“Aku rela dipenjara asalkan bersama buku. Dengan buku aku bisa bebas,” ucap Bonnie mengutip ucapan Bung Hatta mengenai buku pada acara yang dipandu aktivis kebangsaan Mardiantika Watubun.
Dalam acara bertema Bung Hatta dan Kecintaannya pada Buku, Bonnie menyebut salah satu Bapak Bangsa itu memperlakukan kitab sebagai jendela dan satu celah untuk bergerak bebas mempelajari apa pun di dunia ini.
Kecintaan Bung Hatta kepada buku dimulai sejak masa mudanya di Padang, Sumatera Barat, hingga berlanjut sampai Rotterdam, Belanda.
“Hatta merupakan seorang pembaca yang tekun dan kutu buku. Bahkan seringkali dia dianggap sebagai teks book thinker,” kata pimpinan redaksi Histori.id itu.
Bonnie juga melihat Bung Hatta dibesarkan di keluarga yang sebenarnya secara sosial merupakan golongan kelas menengah.
Namun, Hatta memiliki kemampuan untuk mengakses pendidikan yang berkualitas bahkan pergi sekolah ke Belanda.
Di sanalah Hatta banyak membaca buku dan menuangkan gagasannya dalam berbagai tulisan.
“Kalau seseorang piawai dalam menulis, dipastikan dia banyak membaca. Kita bisa pastikan itu dari tulisan-tulisan Hatta di media,” terang Bonnie.
Dia menilai Hatta merupakan pembaca yang kritis, bukan dogmatik.
Tidak semua yang dibaca Hatta ditelan mentah-mentah atau dibuang. Dari bacaannya itu, Hatta memetik beberapa hal yang berguna untuk bangsa.
Semangat dan kecintaan Hatta pada buku dalam banyak kisah juga ditanamkan kepada anak-anak dan remaja agar mereka terbiasa untuk membaca.
Saat diasingkan di Banda Neira, Hatta meminta sahabatnya Eduard Post untuk mengirimkan sejumlah buku untuk para anak-anak Bana Neira. Sebab, Hatta melihat anak-anak di Banda Neira tidak memiliki buku.
“Selain kecintaanya pada buku sudah tertanam sejak kecil, Hatta juga hendak menanamkan itu pada anak-anak kecil,” kata penggagas Museum Multatuli dan Festival Seni Multatuli di Lebak itu.
Kisah lain betapa Hatta sangat mencintai buku ialah saat Belanda hendak mengasingkannya ke Digul, Papua Selatan.
Pada 1935, Hatta meminta kepada pemerintah kolonial untuk membawa serta buku-bukunya yang berjumlah total sebanyak 16 peti.
“Bayangkan jika satu peti itu isinya seratus. Berarti ada 1.600 buku dibawa ke Digul oleh Hatta. Koleksi buku-buku Hatta saat ini masih tersusun rapi dan dapat dilihat di rumahnya Jalan Diponegoro 57, Jakarta,” kata Bonnie.
Kecintaan Hatta pada buku, bukan hanya di lingkup akademis, tetapi juga dalam aspek-aspek lain dalam hidupnya.
“Bahkan saat Hatta menikah, mas kawin yang dia berikan kepada Bu Rahmi, calon istrinya kala itu adalah karya tulisnya berjudul ‘Alam Pikiran Yunani’. Sebuah buku tentang ragam pemikiran para filsuf Yunani,” kisah pria kelahiran Lebak Banten 29 Juni 1979 itu.
Generasi Bung Hatta atau Bung Karno saat itu sangat menyadari bahwa tidak mungkin mereka memahami keadaan dunia saat itu jika bukan karena buku.