Butuh Lima Jam Naik Motor dari Sambas
Medan berat adalah kata yang paling tepat untuk melukiskan perjalanan menuju Camar Bulan. Saking terluarnya pedalaman itu, maka hanya ada dua rute yang boleh dipakai untuk menjangkaunya, jalur laut dan darat. Pertama, jalur laut melewati pesisir barat pantai Kalbar yang beririsan Laut Natuna dan Laut China Selatan. Jalur ini jarang dilewati karena menghindari ganasnya ombak laut. Lalu, jalur darat melalui Paloh seperti yang penulis tempuh.
Khusus darat, dahulunya jalan menuju Camar Bulan selepas Desa Cermai mesti melewati bibir pantai. Jaraknya sekitar 30 km. Untuk tiba di sana, sangat tergantung kondisi air laut, apakah pasang atau surut. Bila surut, pengendara boleh menembusnya dengan ojek. Itu pun dengan kecepatan tinggi. Biasanya air laut surut pada pagi hingga siang hari atau pukul 09.00-13.00.
Sebaliknya, bila sedang pasang, jangan pernah memaksakan kendaraan menembus Camar Bulan. Soalnya, air laut secara tiba-tiba merembes ke darat hingga mata kaki orang dewasa. Bila itu terjadi, sangat berisiko bagi pengendara.
Penulis yang memakai motor RX King sebenarnya mencoba melalui jalur ini saat balik ke Sambas. Semula air laut terlihat surut. Namun hanya 5-10 menit kemudian, secara tidak terduga air laut sudah mengibas terali bawah ban motor penulis. Akhirnya penulis pun urung melanjutkan perjalanan di pesisir pantai dan memilih jalur lainnya.
Sejak kasus Camar Bulan meledak, warga Desa Temajuk mulai merasakan perbaikan infrastruktur. Pemerintah pusat membuka jalur darat sebagai moda transportasi warga setempat. Salah satunya adalah mengubah lahan perkebunan menjadi jalan umum. Kawasan perkebunan tertutup dibuka dan diratakan dari Cermai hingga Dusun Maludin yang berbatasan langsung dengan Malaysia di Kampung Teluk Melano.
“Ada dua kebutuhan utama kami di sini, infrastruktur dan menara telekomunikasi. Butuh waktu lama untuk tiba di desa ini. Jalannya sangat rusak. Kita juga tidak bisa berbuat apa-apa di sini kalau sesuatu terjadi karena tidak ada telepon. Makanya kalau ini (jalan dan tower) sudah terpenuhi, kami sangat mensyukurinya,” kata Mulyadi, Kepala Desa Temajuk.
Tantangan untuk tiba di Camar Bulan memang cukup tinggi, bahkan memacu adrenalin. Setelah melewati Paloh, kondisi jalannya rusak berat. Di Desa Sebubus, di mana-mana ada lubang. Sesekali jalannya juga berpasir halus. Lain lagi di Cermai, kontur tanahnya berbatu keras. Belum lagi cuaca langit Paloh yang sulit diprediksi. Hujan dan terik datang bergantian. Iring-iringan gumpalan awan tebal bisa berubah drastis langit biru.
Sepuluh kilometer sebelum sampai di pusat desa, kami diadang medan tanah merah yang sudah dipadatkan. Sekilas jalannya terlihat rata, padahal ruas tanah tersebut sebenarnya bergelombang. Kalau basah licin, kalau kering berdebu. Sedikitnya empat-lima jembatan beralaskan kayu dan pohon dilewati. Hanya titik tertentu dijumpai rumah penduduk. Itu pun satu-dua rumah. Sisanya lahan kosong.
Di medan terbuka ini, nasib saya bergantung pada kelihaian Obay mengendarai motornya. Berulang kali saya harus turun dari motor kalau tidak ingin jatuh terjengkang. Lajang kelahiran Pontianak ini harus menjaga keseimbangan. Obay menarik gas lebih kencang agar ban motornya tidak selip di tanah merah dan kepungan pasir halus.
Kalimat hati-hati dan pelan-pelan berkali-kali mengucur dari mulut saya untuk mengingatkan Obay. “Yang penting abang tenang di atas motor, kita tidak akan jatuh. Supaya tidak kemalaman, memang laju motor mesti dipercepat,” balas alumni IPDN ini.
Sulit membayangkan sekiranya motor kami rusak atau bannya gembos. Di pedalaman terluar, orang yang lalu lalang hanya bisa dihitung jari. Sehingga bagaimana mungkin ada bengkel? Rumah tinggal saja jarang, apalagi berharap tukang tambal ban.
Di antara medan darat parah itu, kami juga harus menyusuri dua sungai besar. Salah satunya adalah Sungai Sambas yang masuk wilayah Teluk Keramat. Dengan membayar Rp10.000, kami menyeberang dengan perahu kecil. Cukup menciutkan nyali karena ukurannya hanya 1,5x3 meter. Perahu ini bisa mengangkut 10 penumpang bersama motornya. Tidak ada pengaman!
Siang itu, Sungai Sambas padat aktivitas. Selain dekat pasar, waktu pulang sekolah membuat tukang perahu panen penumpang. Belasan remaja berseragam bergantian naik ke perahu. Dengan waktu tempuh 10-15 menit, berkali-kali perahu mengantar penumpang menyeberang ke dan dari Teluk Keramat.
“Jam segini memang ramai karena anak-anak pulang sekolah. Pergi-pulang naik perahu. Sekolahnya di seberang. Belum lagi mereka yang punya urusan ke Sambas, mau tak mau harus menyeberang sungai,” kata salah satu tukang perahu sambil menujuk daratan di seberang.
Berikutnya Sungai Sumpit. Dibanding Sambas, sungai ini jauh lebih lebar. Lebih menciutkan lagi karena suasananya sepi penduduk. Tak ada rumah, kecuali warung belaka. Semacam tepat rehat sebelum naik ke perahu. Bakau tumbuh liar di sisi sungai. “Ya beginilah pemandangannya. Walaupun sunyi, penyeberangannya sampai malam hari. Bisa ke seberang 24 jam, asalkan harganya sepakat,” kata Sutinah, penjaga warung.
Melihat moda transportasi di dua sungai itu, penulis menganggap bahwa angkutan perahu kecil tersebut sungguh tidak aman. Perahu tersebut sangat mudah terbalik. Salah satu penumpang berpindah tempat saja, perahu bisa oleng. Apalagi kalau ada penumpang yang iseng bergerak tiba-tiba saat perahu berada di tengah sungai. Maut mengintai!
Minimnya infrastruktur di Camar Bulan itu mau tak mau harus diterima oleh warga lokal. Sebab untuk mobilitas di sana, tidak ada pilihan lain kecuali melewati medan jalan yang rusak parah serta menyeberangi Sungai Sambas dan Sungai Sumpit. Tanpa jembatan, warga Camar Bulan dan sekitarnya akan bercanda dengan maut bersama perahu kecilnya. Setiap saat begitu. (*)